Bangsawan yang Membumi dan Melangit, Sunan Boto Putih (R. Pangeran Lanang/kyai Brondong)

Tidak ada komentar


Ybia Indonesia - Cerita dan sejarah tentang Sunan Botol Putih memang tak banyak diungkap pada perkembangan Islam di Pulau Jawa. Meski disebut sunan, namun namanya tak terlalu dikenal seperti Wali Songo layaknya Sunan Ampel yang melekat di benak warga Surabaya. 

Kompleks pemakaman ini merupakan kompleks makam sunan dan para bangsawan (adipati) di Surabaya. Arsitektur bangunannya pun tak jauh berbeda dengan Sunan Ampel, gapura makam bergaya ornamen keraton.

Berdasarkan cerita, Sunan Boto Putih berperan menyebarkan Islam di Surabaya pada abad Ke-15. Sunan Boto Putih merupakan pangeran dari kerajaan Blambangan dan putra dari Pangeran Kedawung.

Sunan Boto Putih adalah putra Pangeran Kedawung atau yang disebut juga Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan atau dikatakan juga Bilumbangan. Beliau terlahir dengan nama Pangeran Lanang Dangiran.

Beliau dikaruniai 7 anak, diantaranya adalah Ki Onggodjojo (Sunan Amangkurat Mataram) dan Ki Onggowongso (Ki Temenggung Djangrono I) 

Nasab Sunan Boto Putih diantaranya;

Bhre-Widjaja IV atau Prabu Kertabumi atau Prabu Pandansalas - Lembu Amisrojo - Pangeran Kedawung (Menak Tawang Aloon/Sunan Tawang Aloon/Adipati Ing Dyah Hulumblangan (Blambangan)- Pangeran Lanang Dangiran (Kyai Ageng Brondong Botoputih Surabaya) 

Konon, Beliau memilih meninggalkan kerajaan dan melaut. Selama berbulan-bulan hidup di laut sampai terbawa ombak di Laut Jawa dan ditemukan di Gresik oleh Kiai Kendil Wesi. 

Pandainya Sunan Botoputih dalam mendalami agama Islam dan menyebarkannya di kalangan Gresik dilihat oleh Kiai Kendil Wesi. 

Akhirnya diminta menyebarkan Islam di Surabaya dan menetap di kawasan Pegirian. Tepatnya di Dukuh Boto Putih. Oleh karena itu disebut Sunan Boto Putih.

Sunan Boto Putih wafat pada tahun 1638 dalam usia sekitar 70 tahun dan beliau dimakamkan di kompleks makam Sentono Agung Boto Putih di Jalan Pegirian, tak jauh dari makam Sunan Ampel.

Makam Sunan Botoputih juga bersebelahan dengan makam Maulana Mohammad Syaifuddin (Sultan Banten ke XVII-terakhir) yang wafat pada 3 Rajab 1318 H/11 November 1899. 

Kompleks makam Sunan Boto Putih luasnya sekitar 4.000 meter persegi dan terbagi menjadi dua area besar. Pertama adalah makam Pangeran Lanang Dangiran, kedua makam Al Habib Syekh Bin Ahmad Bin Abdullah Bafaqih.

Kompleks makam ini merupakan kompleks makam sunan dan para bangsawan (adipati) di Surabaya. Beliau dididik oleh Kyai Kendil Wesi. 

Pangeran Kedawung, ayah beliau atau yang sering disebut Sunan Tawangalun adalah raja di Blambangan. Beliau mempunyai 5 orang anak dan diantaranya ialah pangeran Lanang Dangiran. 

Kenapa di Sebut Ki Ageng Brondong??? 

Pangeran Lanang Dangiran pada usia 18 tahun bertapa di laut dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah papan kayu sebuah beronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan atau minum, arus air laut dan gelombang membawa Lanang Dangiran hingga dilaut jawa dan akhirnya suatu taufan dan gelombang besar melemparkan Lanang Dangiran dengan beronjongnya dalam keadaan tidak sadar, disebabkan karena berbulan-bulan tidak makan dan minum, di pantai dekat Sedayu.

Seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta karang-karang (remis) sehingga badan manusia itu seolah-olah ditempeli dengan bakaran jagung yang disebut dengan bahasa jawa “Brondong” oleh karenanya beliau juga dikenal dengan nama Kyai Brondong. 

Tubuh Pangeran Lanang Dangiran ditemukan oleh seorang Kyai yang bernama Kyai Kendil Wesi. Pangeran Lanang Dangiran dirawat oleh Kyai Kendil Wesi serta istrinya dengan penuh kasih sayang sehingga sadar kembali dan sehat seperti sediakala.

Pangeran Lanang Dangiran menceritakan asal-usulnya kepada Kyai Kendil Wesi, yang ternyata Kyai juga asal keturunan dan raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dimana beliau masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran. Beliau bahkan dianggap sebagai anaknya Kyai sendiri. 

Pangeran Lanang Dangiran memeluk agama Islam, karena rajin dan keteguhan imannya serta keluhuran budinya serta kesucian hatinya, maka tidak lama pula beliau dapat tampil kemuka sebagai guru Agama Islam

Kyai Kendil Wesi adalah seorang yang waspada dan dapat mengetahui nasib seseorang, maka beliau mengatakan kepada Lanang Dangiran yang sudah mendapat sebutan Kyai Brondong dan masyarakat sekitar tempat Kyai Kendil Wesi, supaya pergi ke Ampel Dento Suroboyo, dan meluaskan ajaran Agama Islam, karena di Surabaya Kyai Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan serta keturunannya akan menjadi orang yang mulya.

Kemudian Kyai Brondong dengan istrinya dan beberapa anaknya yang masih kecil pergi ke Surabaya dan pada Tahun 1595 menetap diseberang timur kali Pegiri’an, dekat Ampel ialah Dukuh Boto Putih (Batu Putih).

Ditempat baru inilah, Kyai Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dan masyarakat, karena keluhuran budinya Kyai Brondong (pangeran Lanang Dangiran). 

Wilayah yang dijadikan persebaran Islam oleh Sunan Boto Putih mulai Pegirian hingga Kapasan serta ujung Utara Surabaya. Banyak warga yang datang berguru dan mengaji pada Sunan Boto Putih. Beliau wafat pada tahun 1638 dalam usia + 70 tahun.

Konon Bupati Sidoarjo yang pertama adalah keturunan dari Honggodjoyo, Kyai Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran) dikebumikan ditempat kediamannya di daerah Botol Putih Surabaya makamnya dimuliakan oleh putra-putranya dan selanjutnya dihormati oleh turun-turunnya hingga kini.

 

Wallahu a'lam. 

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar

Posting Komentar