Ybia Indonesia - Sultan Muhammad Syafiuddin merupakan salah seorang putera dari Sultan Muhammad Muhyiddin Zainussalihin. Beliau naik tahta mengantikan Sultan Ishaq yang dijadikan raja sebelumnya, telah ditangkap oleh Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, dan diasingkan ke Batavia.
Semenjak tahun 1809, Wilayah Kesultanan Banten sudah banyak diotak-atik penjajah Asing dengan pembagian-pembagian wilayah yang meminimalisir kekuatan pengaruh Kesultanan Banten dan untuk memperlemah perlawanan Rakyat Banten yang sering kali terus melawan.
Pada saat terjadi peralihan kekuasaan di Nusantara dari Belanda kepada Inggris, diakibatkan kekalahan Napoleon Bonaparte dari Prancis kepada Inggris.
Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles dari pemerintahan Inggris tahun 1813 membagi wilayah Banten menjadi 4 Kabupaten yakni Banten Lor (Banten Utara kelak menjadi Kabupaten Serang), Banten Kidul (Banten Selatan kelak menjadi Kabupaten Caringin yang pada tahun 1907 masuk kedalam Kabupaten Pandeglang), Banten Tengah (Kelak menjadi Kabupaten Pandeglang) dan Banten Kulon (Banten Barat kelak menjadi Kabupaten Lebak). Pada tahun 1816 kekuasaan dikembalikan dari Inggris kepada Belanda.
Pada tahun 1832, dikarenakan adanya perlawanan dari rakyat Banten yang terus menerus kepada pemerintah Hindia Belanda, terutama dengan adanya Bajak Laut Selat Sunda.
Pemerintah Belanda menganggap adanya bantuan Kesultanan Banten dalam perlawanan tersebut, sehingga pada tahun tersebut Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin dan keluarga dibuang Belanda ke Surabaya hingga wafatnya pada tahun 1899 dan dimakamkan di Pemakaman Boto Putih Surabaya di seberang pemakaman Sunan Ampel.
Makam Sultan Maulana Muhammad Syafiuddin berada di dalam kompleks pekuburan tua di kawasan Jalan Pegirian Surabaya itu kita temukan banyak batu nisan pejuang Islam, bangsawan dan adipati.
Salah satunya makam yang ada di sana adalah milik Kyai Ageng Brondong atau Pangeran Lanang Dangiran atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Boto Putih karena memang pusara beliau berada di kawasan Boto Putih, Pegirian Surabaya.
Kompleks makam bersejarah ini terbagi menjadi 2 kelompok. Makam-makam yang ditempatkan di bagian depan dinamakan kanoman (anom = muda / generasi baru) yang merupakan anak-cucu keturunan Sunan Boto Putih.
Sedangkan makam Sunan Boto Putih dan para leluhur lainnya masuk kelompok kesepuhan (sepuh = tua /generasi tua)
Cerita ini disarikan oleh Patih Dalem Kesultanan Banten.
Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin adalah Sultan Banten berdaulat terakhir yang dibuang oleh Belanda ke Surabaya pada tahun 1832 dan wafat pada 3 Rajab 1318 Hijriyah atau 11 November 1899 yang merupakan sultan berdaulat terakhir pada masa Kesultanan Banten dari Trah garis lurus Sultan Maulana Hasanuddin dan Sunan Gunung Jati.
Sepanjang 1832-1945 Sultan Safiudin beserta keturunannya tidak diizinkan untuk datang ke Banten. Semua kekayaan Sultan Safiudin, termasuk mahkota dan permainan congklak yang terbuat dari mas dan zamrud, diambil Belanda.
Sementara itu Sultan Safiudin juga masih harus membayar pajak atas perkebunan kelapa miliknya yang ada di Banten.
Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin menikah dengan Ratu Putri Fatimah binti Pangeran Ahmad bin Sultan Aliyuddin I (Sultan Penuh Banten ke-13) sebagai penanda pengakuan keluarga dari keturunan Sultan Aliyuddin I atas hak dan sahnya Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sebagai pewaris tunggal Kesultanan Banten.
Dikarenakan ketidakpuasan rakyat terhadap Belanda yang menindas, sering terjadi perlawanan kepada Belanda, untuk melemahkan perlawanan rakyat, Banten dibagi kedalam tiga daerah yang statusnya sama dengan kabupaten yakni : Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin kala itu ditunjuk Belanda untuk memimpin Banten Hulu. Sedangkan untuk kepentingan politis, Belanda juga menunjuk suami dari bibi Sultan Shafiuddin, yakni Joyo Miharjo dari Rembang suami Ratu Arsiyah bibi Sultan Shafiuddin sebagai, sebagai Bupati Banten Hilir dengan gelar Sultan Tituler Bupati Muhammad Rafiuddin.
Hal ini membuat beberapa kesalahan dalam penulisan sejarah Kesultanan Banten bahwa Sultan Terakhir Kesultanan Banten adalah Sultan Rafiuddin yang disalah kira sebagai anak Sultan Shafiuddin. Padahal Rafiuddin bukan pewaris sah keturunan para Sultan Banten melainkan orang Rembang yang diberikan pangkat (Tituler) oleh Belanda sebagai Bupati dengan Gelar Sultan Bupati.
Dalam pengasingan itu Sultan Shafiuddin berbesanan dengan Bupati Soerabaja, R.A.A. Tjokronegoro IV (1863-1901) dimana putera mahkota Pangeran Timoer menikah dengan putri Bupati Soerabaja.
Setelah Sultan Syafiudin diturunkan dari kesultanan, Belanda menyerahkan kedudukan itu kepada Rafiudin. Rafiudin yang kemudian dijadikan sultan ini tidak diakui oleh keluarga kesultanan.
Dalam hal ini Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam bukunya Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, mengatakan bahwa Rafiudin adalah sultan tanpa kedaulatan penuh.
Sultan Bupati Muhammad Rafiuddin sama sekali tidak ada hubungan dengan Sultan Maulana Muhammad Syafiuddin – bukan Penerus Pemegang Pemerintahan juga bukan putra keturunan.
Perlu dicatat sesudah penobatan Maulana Muhammad Shafiuddin pada 1808, tidak ada lagi penobatan Sultan lain sebagai Penerus Pemegang Pemerintahan Kesultanan Banten.
Sehingga menurut fakta tersebut Sultan Safiudin yang dimakamkan di Sentono Boto Putih Surabaya adalah raja Banten terakhir yang meninggal dalam pengasingan.
Bukan Sultan Bupati Muhammad Rafiudin atau bernama asli Joyo Miharjo seperti yang tercantum di buku SJADJARAH SILSILAH SULTAN-SULTAN BANTEN DAN PUTERA-PUTERA” yang disusun oleh A. Ismail Muhammad (1960).
Dan pada akhirnya Rafiudin pun dibuang oleh Belanda ke Surabaya pada tahun yang sama dengan pembuangan Sultan Safiudin.
Keduanya meninggal di Surabaya.
Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin wafat dalam thn 1899, dimakamkan di Pesarean Agung Sentono Botoputih (Pemakaman Keluarga Bupati Surabaya). Di pusaranya tertulis dengan huruf Arab yang jika di terjemahkan;
"Ini kubur Sultan Banten Maulana Mohammad Shafiuddin Ketika lenyap almarhum pada malam Senen 3 Rajab 1318 H atau 11 November 1899. Sedangkan Rafiudin dikuburkan di Pemakaman Semut, dekat Stasiun Semut."
Disini belajar perkara yang agak "sensitif" terkait politik kepemerintahan. Apapun itu, Politik selalu hanya berteman dengan "Kepentingan".
Tidak ada kawan kecuali kepentingan itu sendiri, dan tidak ada lawan kecuali kepentingan.
Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar
Posting Komentar