Oleh: ki alit Pranakarya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Ybia Indonesia - Allohumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala aali sayidina Muhammad
Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (Prabu Jayadewata) atau Prabu Siliwangi atau Raden Pamanah Rasa menjadi tapal batas peralihan zaman. Sosoknya yang Arif bijaksana terselubung misteri antara mitos dan realitas.
Sosok raja Sunda yang berkarakter ‘teuas peureup lemes usap, pageuh keupeul lega awur’ yaitu kepemimpinan yang memiliki keteguhan dalam berprinsip dengan tetap menjunjung tinggi makna welas asih, serta memiliki jiwa yang bersahaja yang tetap memikirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dialah sosok raja besar yang diakui oleh beragam keyakinan.
Maung atau Harimau dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda Prabu Siliwangi yang mendapat anugrah khusus dari Dewi Uma Durga sehingga mendapat ilmu gaib khusus dan perlindungan dari wahana sang Dewi langsung yaitu Harimau yg disebut Maung.
Kisah Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Pajajaran. Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah kitab Suwasit.
Kitab yang di tulis dengan menggunakan bahasa sunda kuno di dalam selembar kulit Macan putih yang di temukan di desa pajajar Rajagaluh jawa barat.
Prabu Siliwangi seorang raja besar pilih tanding sakti Mandraguna, Arif & Bijaksana Memerintah Rakyatnya di kerajaan Pakuan Pajajaran Putra Prabu Anggalarang atau Prabu dewa Niskala Raja dari kerajaan Gajah dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh di Ciamis Jawa barat.
Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan singapura (sebelum bernama kota cirebon).
Setelah Raden pemanah Rasa Dewasa & sudah cukup ilmu yang diajarkan oleh ki gedeng sindangkasih. Beliau kembali ke kerajaan Gajah untuk Mengabdi kepada ayahandanya prabu Angga Larang/dewa Niskala.
Setelah itu Raden pamanah Rasa Menikahi Putri ki gedeng sindangkasih yang bernama Nyi Ambet kasih. Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu dewa Niskala atau prabu Angga Larang sedang dalam masa keemasannya.
Wilayahnya terbentang Luas dari Sungai Citarum Di karawang yg berbatasan Langsung dengan kerajaan Sunda, sampai sungai ci-pamali berbatasan Dengan Majapahit.
Silsilah Prabu Siliwangi sebagai keturunan ke-12 dari Maharaja Adimulia.
MAHA RAJA ADI MULYA / RATU GALUH AJAR SUKARESI Menikahi Dewi Naganingrum / Nyai Ujung Sekarjingga berputra :
PRABU CIUNG WANARA berputra :
SRI RATU PURBA SARI berputra :
PRABU LINGGA HIANG berputra :
PRABU LINGGA WESI berputra :
PRABU SUSUK TUNGGAL berputra :
PRABU BANYAK LARANG berputra :
PRABU BANYAK WANGI berputra :
PRABU MUNDING KAWATI / PRABU LINGGA BUANA berputra :
PRABU WASTU KENCANA ( PRABU NISKALA WASTU KANCANA ) berputra :
PRABU ANGGALARANG ( PRABU
DEWATA NISKALA ) menikahi Dewi Siti Samboja / Dewi Rengganis berputra :
SRI BADUGA MAHA RAJA PRABU SILIHWANGI/PRABU PEMANAH RASA (1459-1521M).
Siapa sebenarnya yang mendapat julukan Prabu Siliwangi dalam sejarah peradaban Sunda.. Ada yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah Prabu Wastukancana, karena arti dari kata silih adalah pengganti. Sedang Wangi disini adalah gelar Prabu Wangi, yang digelarkan pada Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M.
Disamping itu pada masa pemerintahan Prabu Wastukancana juga wilayah kerajaan Sunda sedang dalam masa kemakmurannya. Karena itu kerajaan Sunda adalah kerajaan yang paling disegani dimasanya. Sedang waktu itu Majapahit sedang dalam proses kemundurannya/ kehancurannya. Karena itu banyak para ahli yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah Prabu Wastukancana ini. Tetapi dalam naskah Wangsakerta, Prabu Wastukancana disebut dengan Prabu Wangi Sutah.
Di lain pihak, Sri Baduga Maharaja Prabu Jaya Dewata adalah raja yang kembali mempersatukan kekuasaan Sunda dalam satu pemerintahan. Dimana setelah Prabu Wastukancana, kerajaan dibagi 2, yaitu sunda pakuan yang beribukota di Pakuan yang diperintah oleh anaknya dari Putri Lampung, yang bernama Prabu Susuk Tunggal, dan juga dari Sunda Galuh diperintah oleh anaknya dari putri Raja Bunisora, yang bernama Dewa Niskala.
Prabu Jayadewata berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Sunda dalam satu pemerintahan, dan pada masanya kerajaan Sunda mencapai kemakmurannya. Karena itu maka Sri baduga Maharaja Prabu Jayadewata oleh masyarakat banyak sekarang dianggap sebagai representasi dari Prabu Siliwangi, raja yang memberikan keharuman kepada kerajaan Sunda, karena itu oleh masyarakat sekarang Prabu jayadewata inilah yang disebut dengan Prabu Siliwangi.
Tentang siapa yang benar dari pendapat ini, maka suatu kompromi dalam sejarah biasanya untuk Prabu Niskala Wastukancana di gelari Prabu Siliwangi I dan untuk Sri Baduga Maharaja biasanya digelari Prabu Siliwangi 2. Tetapi karena Wasukancana digelari Prabu Wangi Sutah, berarti Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata.
Dan dalam naskah naskah kuno, Prabu Siliwangi ini telah disebut dalam naskah Bujangga Manik, suatu naskah yang ditulis oleh Bujangga manik atau Prabu Jaya Pakuan.
Naskah Bujangga Manik adalah naskah primer yang ditulis oleh pelakunya sendiri, Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan yang bergelar Prabu Ameng Layaran. Naskah ini ditulis pada abad ke 15 Masehi, dimana kerajaan Majapahit masih ada, dan kerajaan Demak baru muncul, Cirebon belum menunjukan menjadi kerajaan, dan Sumedang Larang masih dikenal dengan Medang Kahiyangan.
Tidak diceritakan zaman siapa ia hidup, tetapi dari zamannya mengindikasikan bahwa naskah ini ditulis diakhir abad ke-15 Masehi.
KAWALI TAHUN 1451 M:
Telah lahir seorang putra cucu dari raja sunda waktu itu, Prabu Niskala Wastu Kancana.
Anak tersebut merupakan anak dari Pangeran Dewa Niskala, yang dikemudian hari menjadi Raja Galuh, di istana Surawisesa Kawali.
Bayi tersebut dikemudian hari terkenal dengan nama Pangeran Jaya Dewata atau Pangeran Pamanah Rasa. Ia lahir di ibukota kerajaan galuh waktu itu, Kawali, di keraton Surawisesa.
Pamanah rasa diperkirakan lahir pada 17 April 1451 M, di keraton Surawisesa Kawali (Ciamis sekarang). Ayahnya Dewa Niskala merupakan raja dari kerajaan Galuh.
Prabu Dewa Niskala berkuasa di Galuh dari tahun 1475 sampai dengan tahun 1482 M. Nama Pamanah Rasa hanyalah nama panggilan. Ia dinobatkan menjadi raja galuh pakuan dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana.
Pamanah Rasa tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Masa mudanya dikenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas. Dalam berbagai hal orang sezamannya teringat kepada kebesaran buyutnya, Prabu Maharaja Linggabuana, yang gugur dalam perang bubat, yang digelari Prabu Wangi. Dan menganggapnya sebagai pengganti Prabu Wangi, sehingga dikemudian hari ia dikenal dengan Prabu Siliwangi.
KELUARGA
Prabu Jaya dewata merupakan putra dari Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kencana penguasa Galuh dari tahun 1475 hingga 1482 M.
Setelah akil baligh Prabu Jawa Dewata pada mulanya memperistri Ambetkasih, putri dari Ki Gedeng Sindang kasih.
Ambetkasih merupakan istri pertama Sri Baduga Maharaja Jayadewata. Ia merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastukenacana dari Mayang Sari. Ia kemudian memperistri Subang Larang, putri dari Ki gedengtapa, yang menjadi penguasa di Singapura.
Subang Larang adalah muslim pertama di lingkungan kerajaan. Ia merupakan lulusan dari pesantren pondok Syekh Qura di Pura Karawang. Dari turunan Subang Larang inilah kemudian lahir tokoh-tokoh Islam di lingkungan Sunda (raja Cirebon dan banten).
Dari Subang Larang ini, Sri Baduga mempunyai 3 anak: Walangsungsang (atau Cakra Buana atau kemudian bernama Abdullah Iman), Lara santang (ibu dari Syarif Hidayatullah), dan Raja Sangara atau ada yang menyebutnya dengan nama Kiansantang.
Jaya Dewata juga memperistri Kentrik Manik Mayang sunda, putri Prabu Susuk Tunggal, dari istana Pakuan. Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan. Dari istrinya ini ia kemudian mempunyai anak yang bernama Pangeran Sangiang atau setelah menjadi raja menggantikan ayahnya bergelar Prabu Surawisesa Jayaperkasa.
MASA KEKUASAAN DAN KEBIJAKAN DALAM NEGERI
Prabu Jayadewata merupakan putra Dewa Niskala, Raja dari istana Galuh, dan juga menjadi menantu Prabu Susuktunggal, Raja Sunda di Pakuan.
Dengan demikian ia merupakan pewaris 2 tahta istana kerajaan yaitu istana Galuh di Kawali dan istana kerajaan Sunda di Pakuan.
1. Penobatan Raja Dua Kali
Pada tahun 1482 M secara resmi Pangeran Jayadewata diangkat menjadi raja. Dalam Prasasti Batutulis yang ada di Bogor, disebutkan bahwa Prabu Jayadewata dinobatkan menjadi raja 2 kali.
"Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata..... "
Arti:
Semoga Selamat, ini tanda peringatan Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prabu Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata
Pertama, ia diangkat menjadi Raja Galuh menggantikan ayahnya, Prabu Dewa Niskala (Prabu Ningrat Kencana), dengan gelar Prabu Guru Dewataprana. Ayahnya, Prabu Dewa Niskala menjadi raja di Galuh selama 7 tahun, dari tahun 1397-1404 Saka.
Dewa Niskala kemudian memberikan tahta pada anaknya.
Kedua, ia juga diangkat raja di istana Pakuan Pajajaran menggantikan mertuanya, Prabu Susuk Tunggal, dengan gelar penobatan Sri Baduga Maharaja.
Dan penobatan kedua tahta itu terjadi ketika pada tahun 1482 M, diangkat oleh ayahnya Dewa Niskala senagai raja di istana Kawali Galuh. Dan pada tahun itu juga ia diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan, menggantikan mertuanya, Prabu Susuk Tunggal.
Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
2. Iring-iringan pindahnya Keraton
Karena pada awalnya Sri Baduga Maharaja Prabu Jayadewata mendapat tahta dari ayahnya dari galuh, maka ia berkuasa seperti ayahnya di istana Surawisesa Kawali Galuh. Tetapi ketika mendapat tahta dari mertuanya dari Pakuan Pajajaran, maka ia kemudian memilih istana di Pakuan, yang bernama keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, dengan singgasan Sriman Sriwacana.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan sehari hari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbatkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran.
Karena pertama menjadi raja di Galuh, maka ia kemudian pindah ke istana Galuh di Kawali. Tetapi ketika ia diangkat menjadi raja di Pakuan, ia memutuskan Pakuan menjadi ibukota pemerintahannya. Maka terjadilah proese perpindahan kembali dari istana Kawali ke istana di Pakuan.
3. Kebijakan Pertama
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi menjadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya, Wastukancana, yang disampaikan melalui ayahnya, Ningrat Kancana, ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Isi pesan ini bisa ditemukan dalam salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga maharaja di kabantenan. Isinya sebagai berikut (terj.):
”Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana. Maka selanjutnya kepada susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sambawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan meberatkannya dengan ’dasa’ , ’calagra’, kapasa timbang’, dan ’pare dongdang’.
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.”
4. Perekonomian & Perdagangan
Tentang kesejahteraan masyarakatnya, diceritakan dalam naskah carita Parahiyangan sebagai berikut:
Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
Dalam carita Parahiyangan, zaman Sribaduga Maharaja dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. Naskah kitab Waruga jagat (dari Sumedang) dan pancakaki Masalah Karuhun Kabeh (dari Ciamis) yang ditulis pada abad 18 M, menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh pakuan (kemakmuran Pakuan).
Tome Pires, utusan Portugis dari Malaka, ikut mencatat kemajuan zaman Sri baduga dengan komentar:
” The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda hingga ke kepulaan maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakan cukup untuk mengisi 1000 kapal.
PERKEMBANGAN POLITIK DI NEGERI LUAR (TAHUN 1500-AN) DAN KEBIJAKAN POLITIK SANG RAJA
Pada era Sri baduga maharaja berkuasa selama 48 tahun dari tahun dari tahun 1482 hingga 1521 M, perkembangan politik di luar negeri sedemikian cepatnya. Diawali dengn berdirinya kerajaan Demak, yang diikuti oleh jatuhnya kerajaan Majapahit tahun 1400 Saka atau 1478 M, sehingga para bangsawannya banyak yang mengungsi ke tanah sunda.
Majapahit yang digadang gadang mempunyai kekuasaan besar, seolah hilang di telan bumi.
Ia juga melihat perkembangan kerajaan Demak yang cukup agresif, dan menjadi kekuatan global islam di wilayah timur. Disamping itu ia juga menyaksikan jatuhnya pusat perdagangan Islam di Malaka pada tahun 1511 M oleh Portugis.
Sebagai kerajaan Hindu terakhir, meskipun belum ada yang berani untuk melakukan peperangan dengan kerajaan Pajajaran. Tetapi melihat perkembangan yang demikian pesat di luar negeri, membuatnya harus melakukan beberapa kebijakan yang kontroversial untuk kelangsungan kerajaannya di masa depan. Sehingga ia kemudian melakukan kontak perjanjian dengan Portugis di Malaka, meskipun akhirnya kebijakan ini dianggap menjadi salah satu sebab dari keretakan antar pangeran keturunannya yang berbeda keyakinan di kemudian hari.
a. Berdirinya Demak dan Jatuhnya Majapahit:
Pada masa mudanya ia menyaksikan pengungsian besar besaran dari bangsawan Majapahit ke tanah Sunda/ Galuh.
Demak didirikan oleh Raden Fatah, pada tahun 1475 M. Ia berkuasa selama 43 tahun, dari tahun 1475 M hingga 1518 M. Kekuasaan kemudian diteruskan oleh anak pertamanya yang bernama Pati Unus yang berkuasa dari tahun 1518 M sampai dengan 1521 M, dan setelah itu diteruskan oleh anak keduanya yang bernama Sultan Trenggono yang berkuasa dari tahun 1521-1548 M.
Setelah Sutan Trenggono meninggal, Demak mengalami perpecahan, dan dianggap sudah berakhir. Sehingga Kerajaan kerajaan dalam dominasinya menjadi kerajaaan yang independen, seperti Cirebon dan lainnya.
Tahun 1548 M, dianggap sebagai akhir dominasi Demak, karena setelah itu terjadi perpecahan, dan Demak dianggap lenyap seolah ditelan bumi pada tahun 1554 M, saat Joko Tingkir mengalihkan kekuasaannya ke Pajang.
Selama kurang lebih 73 tahun (antara tahun 1475-1548 M) kerajaan Demak dianggap paling agresif dan berhasil dalam mendominasi perpolitikan di Jawa bagian tengah dan timur. Meskipun perpolitikan di Cirebon dan juga Banten mulai dominan, tetapi ia kurang berhasil dalam menaklukan kerajaan pajajaran secara keseluruhan.
Selama kurun waktu tersebut, Demak hampir menguasai seluruh wilayah jawa bagian timur dan tengah, termasuk bantuannya ke Cirebon dalam menghadapai Pajajaran.
Kerajaan Demak berdiri ketika Majapahit berada pada posisi terparah dalam sejarahnya. Kekuasaannya hanya meliputi Jawa bagian timur. karena itu dengan mudahnya Demak dapat menguasai ibukota Majapahit, dan daerah daerah bekas kekuasaannya satu per satu oleh Demak dapat dikuasai.
Sri Baduga maharaja berkuasa di Pajajaran sezaman dengan Raden Fatah (mp. 1475-1518 M) dan Pati Unus (mp. 1518-1521 M) di Demak. Sehingga pada masanya ia menyaksikan penaklukan majapahit dan penyerbuan Demak ke Malaka.
b.Jatuhnya Malaka tahun 1511 M dan Berkah Bagi Pajajaran:
Kesultanan Malaka didirikan ada tahun 1405 M oleh Parameswara, salah seorang bangsawan pelarian dari Sriwijaya. Ia kemudian masuk islam dan bergelar Sultan iskandar Syah. Kemudian kesultanan ini berkembang menjadi pusat perdagangan international kala itu yang sangat disegani dan ramai hingga jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, di era Sultan Mahmud Syah.
Parameswara berkuasa hingga tahun 1414 M, hingga diteruskan oleh anaknya Megat iskandar syah (mp. 1414-1424 M), dan sultan berikutnya berturut turut, Sultan Muhammad Syah (mp. 1424-1444 M), Sultan Abu Syahid, Sultan Muhammad Syah (mp. 1444-1445 M), Sultan Mudzafar syah (mp. 1446-1459 M), Sultan mansyur Syah (mp. 1459-1477 M), Sultan Alauddin Riayat Syah (mp. 1477-1488 M) dan terakhir Sultan Mahmud syah (mp. 1488-1511 M).
Hingga tahun 1511 Masehi, Malaka disamping menjadi ibukota juga merupakan kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan. Malaka telah menjadi kekuatan utama penguasaan jalur selat malaka. Dan hal ini berakhir ketika Malaka jatuh ket tangan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Alburquerque.
Jatuhnya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M, justru membawa berkah tersendri bagi Pajajaran. Pedagang pedagang muslim yang terancam oleh keberadaan Portugis di malaka mulai mencari alternatif pelabuhan dan jalur baru perdagangan untuk mencari rempah rempah.
Disamping Aceh yang mendapat berkah karena jatuhnya Portugis tersebut, Pajajaran juga mendapat dampak yang sangat positif. Perubahan jalur dari selat Malaka ke selat sunda, membawa berkah tersendiri bagi pelabuhan pelabuhan Pajajaran yang ada di selat sunda tersebut, terutama Banten dan juga Nusa Kalapa.
Kedua pelabuhan utama di Pajajaran tersebut telah berubah menjadi pelabuhan teramai dan pusat perdagangan utama di wilayah nusantara, terutama yang mau menuju daerah timur.
NAMA NAMA DAN GELAR UNTUK SRI BADUGA MAHARAJA:
Karena bebagai prestasi dari Prabu jayadewata, disamping menjadi pemersatu wilayah sunda dan galuh, juga pada zamannya dikatakan sebagai zaman kegemilangannya. Baik dalam bidang ekonomi an kesejahteraan rakyatnya. Karena itu ia sering dikaitkan dengan nama Prabu Siliwangi (penggati Prabu Wangi), dan juga Sri baduga Maharaja.
Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batutulis, sedang dalam carita parahiyangan ditulis Jayadewata.
Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.
Sumber sejarah pertama yang mengungkap nama siliwangi, adalah naskah sanghiyang siksa kandang karesian (1518 M), yang dimaksud menyebutkan salah satu cerita (lakon) pantun, tetapi peran utama (lalakon)nya tidak diceritakan.
Yang kedua adalah naskah ”Carita Puirwaka Caruban Nagari (1720 M) yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon, yang menceritakan tentang Prabu Siliwangi, yang merupakan putra dari Prabu Anggalarang dari Galuh, yang berkuasa di kraton Surawisesa, yang berkuasa di Parahiyangan Timur.
Prabu Siliwangi bertahta di keraton Pakuan yang bernama Sri Bima. Ia kemudian menikah dengan Subang Larang (1422) pada zaman Prabu Niskala wastukencana berkuasa di Sunda di Kawali (1371-1475 M). Prabu Siliwangi juga menikah dengan putri Ambetkasih.
Dan yang ketiga terdapat dalam naskah Carita Ratu Pakuan (kropak 410) yang ditulis kira-kira pada akhir abad ke-17 M atau awal abad ke-18 M. Dalam naskah ini juga diceritakan tentang Prabu Siliwangi yang berkuasa di Pakuan, yang mempunyai istri Ambetkasih dan Subanglarang. Hal ini cocok dengan Naskah cirebon diatas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga maharaja.
Sribaduga maharaja merupakan gelar yang diberikan dalam prasasti Batu Tulis, yang ada di Bogor sekarang.
Prasasti Batutulis merupakan prasasti yang di buat oleh Prabu Surawisesa, raja kerajaan Pajajaran putra dari raja sebelumnya, Sri Baduga Maharaja. Dan dibuat untuk mengenang ayahnya, Sri Baduga Maharaja.
Prasasti ini di yakini dibuat setelah upacara kematian ayahnya yang Ke-12 tahun. Dan dalam prasasti itu sendiri diungkapkan bahwa pembuatan prasasti ini ada dalam sangkala diakhir tulisan prasasti, yaitu: "Panca Pandawa mengemban bumi" berarti 5541, jika dibalik menjadi 1455 saka atau pada tahun 1533 Masehi.
Dalam Prasasti itu dituliskan sebagai berikut:
Wangna pun ini sakakala, Prebu ratu purane pun,
diwastu diya wingaran prebu guru dewaprana
diwastu diya wingaran Sri baduga maharaja ratu haji di pakwan Pajajaran seri sang ratu dewata
pun ya nu nyusuk na pakwan
diya anak rahyang dewa niskala sang) sida mokta ka nusalarang
ya isya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sa (ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi
Semoga Selamat, ini tanda peringatan Prabu ratu almarhum
dinobatkan dia dengan nama Prau Dewaprana.
dinobatkan (lagi) dia dengan nama sri baduga maharaja ratu aji di pakuan
pajajaran sri sang ratu dewata
dialah yang membuat parit (pertahanan) pakuan
dia putera rahiyang dewa niskala yang dipusarakan di gunatiga, cucu rahiyang
niskala wastukancana yang dipusarakan di nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, membuat
undakan untuk hutan samida, membuat sanghiyang talaga rena mahawijaya (dibuat) dalam (tahn) saka "panca pandawa mengemban bumi"
Dalam prasasti ini diungkapkan bahwa Sri Baduga Maharaja ketika ia berkuasa, telah membuat beberapa karya, diantaranya yaitu: yang membuat parit pertahanan Pakuan (Nu Nyusuk nan Pakuan), yang membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan, yang membuat undakan untuk hutan samida, dan yang membuat Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya.
Yang diungkapkan dalam prasasti ini dipertegas lagi dalam naskah Wangsakerta kitab Pustaka Nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 2 halaman 21 dan 23, sebagai berikut:
“Sang Maharaja membuat karya, yaitu: membuat telaga yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh (perhanan) kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (mahligai), kesatriaan, satuan satuan tempur, tempat tempat hiburan (pamingtonan), memperkuat angkatan perang, mengatur upeti dari raja raja bawahan dan kepala desa dan menyusun undang undang kerajaan (nitirajya).
1. Membuat Parit Pertahanan (Nu Nyusuk nan Pakuan)
Para ahli sejarah mengartikan kata “Nu nyusuk na Pakuan” diartikan dengan yang membuat parit di Pakuan. Yang secara luas diartikan dengan yang membuat parit pertahanan Pakuan.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja menjadikan Pakuan menjadi ibukota kerajaan, sehingga di kemudian hari kerajaannya lebih dikenal dengan kerajaan Pakuan Pajajaran atau Pajajaran saja.
Kota Pakuan didirikan oleh Prabu Tarusbawa, pendiri kerajaan sunda. Tarusbawa berasal dari kerajaan Sunda Sambawa.
Ia menggantikan mertuanya menjadi raja Tarumanagara menggantikan mertuanya, Prabu Linggawarman.
Tetapi Prabu Tarusbawa kemudian memindahkan ibukota dari daerah Bekasi sekarang ke Pakuan (sekitar bogor sekarang).
Dalam naskah Carita Parahiyangan yang pertama kali yang nyusuk pakuan atau membuat parit pertahanan Pakuan adalah Prabu Hariang Banga, sebagai upaya untuk memperkokoh posisi Pakuan dibanding kerajaan kembar yang menjadi saingannya, yaitu kerajaan Galuh di era Raja Prabu Sang Manarah (Ciung Wanara), yang merupakan saudara tiri Hariang Banga.
Dan dalam kropak 406, Pakuan ini pernah diperluas (dibeukah) oleh Maharaja Prabu Darmasiksa, yang menurut Naskah Wangsakerta, Prabu Darmasiksa pindah dari Saunggalah ke Pakuan pada tahun 1109 Saka, dan ia memperluasnya.
Sri Baduga maharaja yang dibesarkan di Galuh (istana Surawisesa Kawali), seolah terinspirasi oleh kakekanya, Prabu Wastukancana, yang membuat benteng berupa parit pertahanan di sekeliling ibukota atau yang “marigi sakuliling dayeuh”. Karena itu ia kemudian membuat parit pertahanan ibukota Pakuan (nu nyusuk na Pakuan).
Parit / benteng pertahanan ini merupakan karya yang mengagumkan. Ketangguhan benteng atau parit pertahanan ini terbukti dikemudian hari. Di era kejatuahn Pakuan tahun 1579 M, meskipun Pakuan lebih dari 12 tahun ditinggalkan oleh rajanya. Pakuan masih mampu menahan serangan pasukan dari luar.
Konon sisa parit masih bisa dsaksikan di daerah Batutulis, dibelakang makam embah dalem Batutulis. Ukuran parit itu lebarnya 10 meter dan tinggi tebing antara 7 hingga 10 meter.
2. Membuat tanda peringatan berupa gunung gunungan
Ada yang mempersamakan istilah gunung gunungan dalam prasasti ini dengan istilah Wanagiri dalam naskah Wangsakerta.
Menurut Saleh Danasasmita kemungkinan tempat peringatan yang berupa gunung gunungan ada kemungkinan yang bernama bukit badigul sekarang, yang berada di daerah Rancamaya.
Hal ini menurutnya dari pandangan sepintas bahwa bukit itu merupakan bukit buatan, disamping memenuhi syarat ukuran sebuah bukit atau gunung kecil.
3.Membuat undakan untuk hutan samida
Hutan Samida ada yang mengartikannya merupakan hutan larangan. Dan Hutan samida yang disebut dalam prasasti batu tulis ini diyakini berada ditempat yang ada sekarang menjadi kebon raya Bogor.
4. Membuat Sanghiyang Talaga Rena mahawijaya
Mengenai Sanghiyang Talaga rena Mahawijaya atau dalam naskah Wangsakerta disebut dengan Maharena wijaya, belum diketahui dengan pasti.
Para ahli masih bersilang pendapat, tentang letak Talaga rena Mahawijaya ini. Ada yang mengatakan letaknya di kota baru, sekitar 5 km sebelah barat daya kota bogor. Ada yang mengatakan Talaga Warna di puncak, dan ada yang mengatakan di aliran ciliwung.
Dalam carita pantun yang berasal dari Bogor, lakon “Nyurabrata”, disebutkan bahwa di era masa Pajajaran ada 2 telaga, yaitu: Kamala wijaya atau Sipatahunan, yang terletak di aliran sungai Cilwung dan Rena Wijaya yang terletak di Rancamaya.
5. Karya lainnya
Seperti diungkapkan dalam naskah Wangsakerta kitab Pustaka Nagara Kretabhumi bahwa yang Sang Maharaja (Sri Baduga Maharaja) selain keempat diatas, masih membuat karya lainnya, yaitu: membuat jalan yang ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat.
Kemudian membuat kaputren (mahligai), kesatriaan, satuan satuan tempur, tempat tempat hiburan (pamingtonan), memperkuat angkatan perang, mengatur upeti dari raja raja bawahan dan kepala desa dan menyusun undang undang kerajaan (nitirajya).
Dan mungkin tentang jalan ini juga merupakan karya bersambung. Karena setelah Sri Baduga Maharaja, dan raja raja setelahnya. Dalam naskah Carita Parahiyangan, menyebutkan bahwa pada zaman Sang Nikalendra yang disebut dengan Tohaan dari Majaya, yang memerintah dari tahun rahun 1551-1567 M, pernah membuat taman yang dibalay (diperkeras dengan batu) dan balaibobot 17 jajar (baris) yang diapit oleh 2 pintu larangan (mihapitkeun dora larangan).
Sebagai Seorang putra Raja Beliau tidak Betah tinggal diam di istana, Raden Pamanah Rasa kerap mengembara Menyamar menjadi Rakyat Jelata dari daerah satu ke daerah Lainya, Menolong yang Lemah & Memberantas Keangkaramurkaan.
Gemar bertapa & mencari kesaktian,
Di dalam salah satu pengembarannya, Ketika beliau hendak beristirhat di Curug atau air terjun,curug itu bernama Curug Sawer yg terletak di daerah Majalengka, Raden pamanah Rasa dihadang oleh siluman Harimau Putih Pertempuran pun tak terelakkan.
Raden Pamanah Rasa dan Siluman Harimau Putih yang diketahui memiliki kesaktian tinggi itu pun bertarung sengit hingga Setengah Hari, Namun kesaktian Prabu Pamanah Rasa berhasil
memenangi pertarungan dan membuat siluman Harimau Putih tunduk kepadanya.
Harimau Putih itu memberi sebuah pusaka yang terbuat dari kulit Macan,
Dengan pusaka itu beliau bisa Terbang Laksana burung, Menghilang tak terlihat oleh mata (ajian Halimun),berjalan secepat angin (Ajian saepi Angin) & Bisa Mendatangkan Bala tentara Jin.
Harimau itupun memutuskan untuk mengabdi kepada Raden Pamanah Rasa sebagai pendamping beliau.
Dengan tunduknya Raja siluman Harimau Putih, maka meluaslah wilayah kerajaan Gajah.
Siluman Harimau Putih beserta pasukannya selanjutnya dengan setia mendampingi dan membantu Raden Pamanah Rasa.
Salah satunya kala kerajaan Gajah
menundukkan kerajaan-kerajan yang Memeranginya.
Siluman Harimau Putih juga turut membantu Raden Pamanah rasa saat kerajaan Pajajaran diserang oleh pasukan Mongol pada Masa kekaisaran Kubilai khan.
Karna Jasa-jasa Anaknya yg begitu besar dalam Kejayaan kerajaan gajah, maka diangkatlah Raden pemanah Rasa sebagai Raja kedua di kerajaan tersebut.
Prabu Pamanah Rasa pun selanjutnya mengubah nama kerajannya menjadi kerajaan Pajajaran. Yang berarti menjajarkan atau menggabungkan kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih.
Seiring meluasnya wilayah kerajaan Gajah, Prabu Pamanah Rasa kemudian membuat senjata sakti yang pilih tanding.
Beliau menyuruh Eyang Jaya Perkasa untuk membuat senjata pisau berbentuk harimau sebanyak tiga Buah, Dalam Tiga Warna, yaitu Kuning, Hitam, Putih.
Senjata pertama yang berwarna hitam, dibuat dari batu yang jatuh dari langit yang sering disebut meteor, yang dibakar dengan kesaktian Prabu Pamanah Rasa Dalam membentuk besi yang diperuntukkan untuk membuat senjata tersebut.
Senjata Kedua dibuat dari air,api yang dingin,yang warnanya kuning dibekukan menjadi besi kuning, Senjata ketiga dari besi biasa yang direndam dalam air hujan menjadi putih berkilau.
Senjata itu selesai dalam waktu tujuh hari.
Semalam penuh Pengeran Pamanah
Rasa memikirkan nama untuk senjata sakti tersebut, tepat ayam berkokok ditemukan nama untuk ketiga barang tersebut, Pisau pusaka itu di beri nama KUJANG (Senjata Berbentuk Harimau), dikarenakan
Pusaka itu ada tiga, Maka kujang tersebut di beri nama KUJANG
TIGA SERANGKAI, yang Artinya
BEDA-BEDA TAPI TETAP SAMA.
Senjata itu berbentuk melengkung dengan ukiran harimau di gagangnya. Ukiran harimau di gagang Kujang konon sebagai pengingat terhadap pendamping setianya, siluman Harimau Putih. Dan pusaka itu yang kini menjadi lambang dari propinsi Jawa Barat.
Menyebut Leuweung Sancang di pikiran #kaP yang terbayang adalah dua (2) hal mistis yaitu, hal pertama adalah sebuah hutan larangan yang terletak di tepi laut kidul tempat ngahiangnya Kanjeng Gusti Prabu Siliwangi dan pasukannya lalu berubah menjadi “maung bodas” sesaat setelah pertempurannya dengan putra kandungnya sendiri yaitu Kian Santang sehingga di Leuweung Sancang dipercaya masih ada berkeliaran “maung bodas”.
Dan hal yang kedua adalah tentang pohon Kaboa sebuah pohon yang keramat, pohon yang jika dibuat jadi “iteuk” atau tongkat akan mempunyai kesaktian yaitu bisa mengeluarkan “maung bodas” jejadian.
Cerita super mistis selalu mewarnai masyarakat di kampung yang berdekatan dengan Hutan Sancang, mendengar hutan sancang dan mau merupakan sesuatu yang sakral.
Bahkan saking sakralnya cerita ini, kata “maung” tidak pernah diucapkan oleh orang-orang setempat dan di ganti dengan kata “ucing gede”.
Bahkan kita dilarang menyebut “maung” yang konon jika sembarangan diucapkan akan mengundang kehadiran sang “maung bodas”.
Prabu Siliwangi dikenal memiliki ilmu kesaktian yang disebut Ajian Macan Putih. Kesultanan Cirebon memiliki hubungan kuat dengan kerajaan Pajajaran, terutama dari garis keturunan.
Pangeran Cakrabuana (Mbah Kuwu Sangkan Cirebon) maupun Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sesungguhnya tetaplah menghormati Prabu Siliwangi, masing-masing sebagai ayah dan kakek.
Sehingga pada perkembangannya hubungan cukup terjalin dengan baik, walau sebagian masyarakat Pajajaran waktu itu masih memeluk agama Lama (Jati Sunda dan sebagian beragama Hindu).
Perbedaan keyakinan antara Pajajaran dan Cirebon tidak sampai menjurus ke arah peperangan.
Prabu Siliwangi tidak keberatan berdirinya Kerajaan/Kesultanan Cirebon, yang didirikan oleh putra kandungnya sendiri yaitu: Pangeran Cakrabuana dan pemerintahan dilanjutkan oleh cucu Prabu Siliwangi: Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Bahkan terhadap ajaran Islam pun Prabu Siliwangi tidak keberatan. Apalagi salah satu permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslim. Prabu Siliwangi juga mengijinkan ketiga anaknya untuk mengikuti ajaran agama sang ibu sejak kecil.
Adanya perbedaan pandang dan keyakinan, namun tidak sampai menyebabkan pertumpahan darah, merupakan alasan mengapa masa pemerintahan Prabu Siliwangi sering digambarkan sebagai masa yang penuh keadilan dan toleransi. Kejujuran dan keadilan merupakan titik berat pada masa pemerintahan beliau.
Tak heran jika sampai hari ini, hingar bingar kebesaran nama beliau masih terasa, meskipun ratusan tahun telah berlalu sejak Prabu Siliwangi memutuskan untuk moksa atau menghilang dari alam nyata.
Misteri Wangsit Siliwangi dan Muksonya (Menghilang) Prabu Siliwangi:
Wangsit Siliwangi selalu mengundang rasa penasaran, sebab amanat ini penuh misteri. Salah satu ungkapan dalam wangsit disebutkan kalau pada suatu saat akan ada yang menelusuri sejarah Sunda yang sebenarnya, hanya semakin menambah rasa penasaran dari cerita ini bahwa sejarah Sunda belum benar-benar terkuak.
Wangsit Prabu Siliwangi mengandung hakekat yang sangat tinggi oleh karena di dalamnya digambarkan situasi kondisi sosial beberapa masa utama dengan karakter pemimpinnya dalam kurun waktu perjalanan panjang sejarah negeri ini pasca kepergian Prabu Siliwangi (ngahyang/menghilang).
Peristiwa itu ditandai dengan menghilangnya Pajajaran.
Sesuai sabda Prabu Siliwangi bahwa kelak kemudian akan ada banyak orang yang berusaha membuka misteri Pajajaran. Namun yang terjadi mereka yang berusaha mencari hanyalah 0rang-orang sombong dan takabur.
Seperti diungkapkan dalam naskah tersebut berikut ini :
”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”
Artinya :
“Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.”
Namun dalam naskah Wangsit Siliwangi ini dikatakan bahwa pada akhirnya yang mampu membuka misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan sebagai ”Budak Angon” (Anak Gembala). Sebagai perlambang sosok yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi sebagai orang yang baik perangainya.
”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi.”
Artinya :
”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian.”
Selanjutnya dikatakan juga apa yang dilakukan oleh sosok ”Budak Angon” ini sbb:
”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”
Artinya :
”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”
Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan ranting daun kering dan tunggak pohon. Sehingga secara hakekat yang dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kejadian (asal-usul/sebab-musabab) termasuk karya-karya warisan leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Dimana hal-hal semacam itu karena kemajuan jaman oleh generasi digital sekarang ini dianggap sudah usang/kuno tidak berguna dan bermanfaat.
Pada akhirnya yang tersirat dalam hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini adalah berputarnya Roda Cokro Manggilingan (pengulangan perjalanan sejarah).
Bersambung...
Wallahualam bisahab
#kaP
Penggagas/Ketua Umum FSSN Foundation (Forum Silaturahmi Spiritual Nusantara). Pembimbing Spiritual (Spiritual Advisor) Guru Besar Seni pernapasan (Bio Energy) Kumbang Ciremai.
- Mentor tentang kepemimpinan (Leadership), Motivator RIESQ.
- Aktivis Sosial, Pemerhati Lingkungan & Pecinta Alam.
- Konsultan Manajemen & Administrasi Perusahaan, Konsultan Pertanahan, Konsultan Pertambangan (perijinan), Konsultan Politik dan Ilmu Pemerintahan.
0818162353
Tidak ada komentar
Posting Komentar