Sunan Gunung Jati

Tidak ada komentar

 



(Bagian ke VIII)

Ybia Indonesia - Ekspedisi Jihad  Armada Laut Gabungan Demak,Cirebon Dan Banten Dibawah Komando Pati Unus Melawan Portugis Di Malaka.

Pati Unus (Adipati Unus/ Pangeran Sabang Lor Bin R.Patah Bin Brawijaya V) Raja kedua Kerajaan Demak (1518 -1521 ).

Pati Unus dikenang sebagai Raja yang gagah berani. Selain menghadapi persaingan dakwah dan niaga yang ketat, Pati Unus juga harus menghadapi Portugis yang telah menguasai Malaka sejak 1511.

Setelah Portugis menguasai Malaka, agama yang sebelumnya menjadi salah satu faktor penting dilakukannya ekspansi mulai menjadi samar-samar dan digantikan oleh faktor ekonomi yang memegang peranan sangat penting.

Pati Unus berupaya mempererat perhubungannya dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Untuk mengikat perhubungan itu, Pati Unus menikah dengan Raden Ayu, puteri Sunan Gunung Jati, pada 1511.

Setelah pernikahan itu, Pati Unus didaulat menjadi Panglima Gabungan Armada Islam yang membawahi armada perang Kesultanan Banten, Demak, dan Cirebon serta armada tambahan dari Kesultan Malaka dan Palembanv. 

Penunjukan itu membuat Pati Unus harus bertindak cepat.

Tahun 1512, Kerajaan Samudera Pasai Aceh jatuh ke tangan Portugis. Hal ini berarti kekuasaan Portugis semakin tidak terbendung. 

EKPEDISI JIHAT I

Pati Unus akhirnya memimpin Ekspedisi Jihad 1, pada 1 Januari 1513, ke Malaka sebagai Putra Mahkota Kesultanan Demak.

Ekspedisi pasukan perang Armada Gabungan ini bertujuan untuk menghalau semakin meluasnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Tetapi sayang, serangan pasukan Pati Unus dengan mudah dipatahkan oleh Portugis lewat bantuan pasukan Kerajaan Pajajaran yg pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa) dgn intensif selalu memberi informasi kepada Portugis sekutu Kerajaan Pajajaran tentang pergerakan dan kelemahan Armada Gabungan tersebut.

EKPEDISI JIHAT II

Setelah dalam pertempuran pertama selanjutnya Pati Unus langsung melakukan evaluasi secara menyeluruh atas semua pasukan tempurnya yang dengan gampang dihancurkan oleh Portugis itu.

Pati Unus kembali mengumpulkan pasukannya dengan membuat armada besar. Sebanyak 375 kapal perang berhasil dia kumpulkan dari Tanah Gowa, Sulawesi, yang dikenal cakap dalam membuat kapal perang.

Di tengah kondisi dan suasa seperti itulah ayahanda Pati Unus yaitu Raden Patah mangkat. 

Meninggalnya Raden Patah, membuat Pati Unus sebagai Raja ke-2 kesultanan Demak menggantikan ayahnya harus fokus mengurus pemerintahan Kesultanan Demak, sambil terus memperkuat armada perangnya.

Pada 1521, 375 kapal perang yang dibuatnya telah selesai dibangun. 

Ekspedisi Jihad 2 ke Malaka pun segera disiapkan.

Dalam jihat tersebut, kesultanan Malaka mengirimkan Laksamana Hang Nadim putra Laksamana Hang Jebat melawan Portugis di Melaka

Serangan balasan ini dipimpin langsung oleh Pati Unus sebagai Panglima Perang dan Tubagus Pasai/Fatahillah dari kesultanan Cirebon sebagai Wakil Panglima Perang. Sayang, serangan besar-besaran ini telah diketahui oleh Portugis lewat telik sandinya dari Kerajaan Pajajaran yg dipimpin putra Prabu Siliwangi (Kakek dari Sunan Gunung Jati) yaitu Ratu Samiam (Surawisesa).

Armada Gabungan tersebut langsung disambut dengan meriam-meriam besar di benteng Malaka.

Setibanya di Malaka, pasukan besar Pati Unus langsung dibombardir meriam Portugis. Nahas, salah satu tembakan meriam mengenai kapal perang yang ditumpangi Pati Unus sebelum dia bisa mendarat hingga karam.

Pati Unus membayar sangat mahal serangan ini dengan nyawanya bersama putra pertama dan ketiga yg masih remaja mati syahid di medan laga sebagai shuhada fisabilillah. Kematian Pati Unus disambut perang hingga darah penghabisan. 

Armada angkatan perang saat itu juga diambil alih oleh Fadhulah Khan atau Tubagus Pasai atau Fatahillah dari Cirebon sebagai Wakil Panglima Perang.

Di bawah komando Fatahillah, armada perang gabungan Demak,Cirebon,Banten ,Palembang dan Malaka berhasil mendarat ke Malaka dan terlibat perang gagah berani hingga 3 hari 3 malam. .

Dalam pertempuran itu, putra pertama dan ketiga Pati Unus juga gugur.

Selanjutnya armada gabungan setelah meluluh lantakan pasukan Portugis dan mengingat gugurnya Pati Unus bersama ke dua putranya,maka armada gabungan dibawah pimpinan Fatahillah mundur kembali ke Pulau Jawa.

Saat armada mendarat di Banten maka putra ke- 2 Pati Unus yg selamat dalam pertempuran yg bernama Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) atas ajakan Maulana Hasanuddin sebagai paman kandung Pangeran Yunus (Ratu Mas Ayu ibu Pangeran Yunus adalah adik kandung Maulana Hasanuddin ) untuk tetap tinggal di Banten mengingat terjadi nya suksesi oleh Pangeran Trengono yg langsung menggantikan kedudukan Pati Unus.

Kemudian Pangeran Yunus sebagai keponakan Maulana Hadanuddin dinikahkan  dengan putri yang ke 3 yaitu Fatimah. 

Hal ini tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon,karena Pati Unus adalah adik ipar dari Maulana Hasannuddin sehingga 3 kesultanan memiliki satu kekuatan penyebaran agama Islam sekaligus kekuatan melawan invasi Portugis.

Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Maulana Yusuf (adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan . 

Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Maulana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Maulana Abdul Qadir.

Setelah penaklukan Kota Pakuan Pajajaran 1567 dan Prabu Nilakendra menyingkir ke Cibeo pedalaman  pegunungan Kendeng .Selanjutnya pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran pindah ke Pulasari dipimpin oleh Prabu Raga Mulya dan tahun 1579, Raden Aryawangsa  menjadi Panglima Perang dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Maulana Yusuf dan mempunyai jasa besar menaklukan Kerajaan Pajajaran dari Pakuan hingga Pulasari .

Atas keberhasilan menaklukan Kerajaan Pajajaran di Pakuan pada tahun 1567, sehingga Raden Aryawangsa diberikan wilayah kekuasaan Pakuan (Bogor saat ini) dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). 

Raden Aryawangsa juga menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.

Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah beliau wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam, sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Raden Muhammad Yunus bin Pangeran Pangeran Yunus/Arya Jepara bin Pangeran Sabrang Lor /Pati Unus bin Raden Patah ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.

Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah/Pangeran Yunus/Arya Jepara  putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki lainnya yaitu yang dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan lebih dikenal dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan Panembahan Senopati ketika Mataram resmi menguasai Priangan Timur pada tahun 1595.

Kehadiran cucu Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari kerjasama dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya).

Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah bin  Pati Unus yang telah menjadi Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng Islaman Priangan Timur. 

Raden Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka yang hijrah ke Demak dan Cirebon mengikuti Fatahillah saat kembali ke Demak bersama jenajah Pati Unus yg gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis. 

Beristirahatlah mereka di suatu tempat dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena di dalam pasukan beliau banyak terdapat keturunan Melayu Malaka yg kini telah berkembang di Tasikmalaya.

Raden Surya pada tahun 1580 di angkat oleh Sultan Cirebon II yaitu Pangeran Arya Kemuning atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. 

Akan tetapi seiring dengan semakin melemahnya kesultanan Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. 

Pada saat 1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan Sumedang Larang. Inilah zaman keemasan Sumedang yang masih sering di dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari dinasti Kusumahdinata.

Sekitar tahun 1595 Panembahan Senopati dari Mataram mengirim expedisi hingga Priangan, Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan banyak wilayah termasuk Galuh Islam. 

Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi wilayah Ciamis hingga Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. 

Raden Suryadiwangsa Cucu Pati Unus segera diangkat oleh Panembahan Senopati sebagai penasehat beliau untuk perluasan wilayah Priangan dan diberi gelar baru Raden Suryadiningrat.

Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak pada tahun 1635 resmi menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. 

Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). 

Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini dipindahkanlah ibukota Sukapura ke Manonjaya. 

Bupati Sukapura terakhir berkedudukan di Manonjaya adalah Raden Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah beliau pensiun maka ibukota Sukapura resmi pindah ke kota Tasikmalaya.


Penyadur G.E.Dip

Refrensi:

1. Muhlis Abdullah, Huru-hara Majapahit dan Berdirinya Kerajaan Islam di Jawa, Araska Publisher, 2020.

2. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Balai Pustaka, 2008.

Tidak ada komentar

Posting Komentar