Kisah Muhammad Hanafi Putra Ali bin Abi Thalib Yang Jarang Diketahui

Tidak ada komentar

 



Ybia Indonesia - Dalam diri Sayyidina Ali bin Abi Thalib terdapat karakter murah hati yang menurun kepada Hasan, watak pemberani untuk Nahi Mungkar terlihat dari Husein, sikap alim zuhud menurun kepada putra yg lain.

Suatu hari, Sayyidina Ali duduk bersama Rasulullah dan berkata:

“Wahai Rasulullah seandainya Aku punya anak lagi setelah Anda tiada, bolehkah Aku memberi nama anakku dengan nama Anda dan kuberikan kunyah (julukan) dengan kunyah Anda (yakni Abu al-Qasim)?”

Nabi bersabda: “Boleh”

Waktu bergulir hingga akhirnya Nabi wafat dan beberapa bulan kemudian disusul putrinya, Fatimah yang merupakan ibunda Hasan dan Husein.

Fatimah wafat pada usia 28 tahun.

Setelah itu Ali bin Abi Thalib menikah lagi, tercatat 9 istri dengan perceraian sebab kematian. Salah satunya dengan seorang wanita dari Bani Hanifah bernama Khaulah binti Ja’far bin Qais al Hanafiyyah.

Perkawinan ini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama "Muhammad dan diberi julukan Abu al Qasim" dengan restu dari Rasulullah sebelumnya.

Namun demikian orang-orang biasa memanggil Muhammad dengan nama Hanafiyyah, laqob dari Bani ibu nya.

Hanafiyyah lahir di akhir masa khalifah Abu Bakar.

Ia tumbuh dan dibesarkan di bawah bimbingan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib.

Dari ayahnya itu dia mewarisi ketekunan ibadahnya (alim), sifat zuhud, di samping kefasihan lidahnya.

Beliau pernah ditanya: “Mengapa Anda selalu diterjunkan di medan-medan yang berbahaya dan memikul beban melebihi kedua kakakmu, Hasan dan Husein?”

Dengan tawadhu beliau menjawab: “Sebab kedua kakakku ibarat kedua mata ayahku, sedangkan kedudukanku adalah ibarat kedua tangannya. Maka ayah menjaga kedua matanya dengan kedua tangannya.”

Suatu ketika terjadi perselisihan dan menyebabkan saling menjauh antara Muhammad Al-Hanafiyah dengan kakaknya Hasan bin Ali.

Kemudian Muhammad Al-Hanafiyah menulis surat kepada kakak nya Hasan, sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah memberikan keutamaan kepada Anda melebihi diriku. Ibumu adalah Fathimah binti Muhammad bin Abdillah, sedangkan ibuku adalah wanita dari Bani Hanifah. Kakekmu dari jalur ibu adalah Rasulullah pilihan-Nya, sedang kakekku dari jalur ibu adalah Ja’far bin Qais.

Jika suratku ini sampai kepada Anda, saya berharap Anda berkenan datang kemari dan berdamai, agar Anda tetap lebih utama dariku dalam segala hal…”

Sesampainya surat tersebut, Hasan bergegas mendatangi rumahnya untuk menjalin perdamaian.

Ketika terjadi perang Shiffin antara Ali Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Muhammad Hanafiyyah memegang panji-panji ayahnya.

Tatkala perang berkobar, korban berjatuhan dari kedua pihak. Terjadilah suatu peristiwa yg kemudian diriwayatkan sendiri olehnya.

“Ketika berada di Shiffin kami bertempur melawan sahabat sendiri, Muawiyah. Kami saling bunuh, hingga kami menduga tidak akan ada lagi yg tersisa dari kami ataupun mereka. Aku menjadi sedih dan gelisah karenanya.

Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari belakangku: “Wahai saudara-saudara muslimin… ingat Allah… Allah… Wahai saudara-saudara muslimin.. Allah… Allah, sisakan orang-orang kalian, wahai saudara-saudara muslimin..!

Seketika itu aku tersadar dan berjanji tidak akan mengangkat dan menghunus senjata lagi melawan seorang muslim pun sejak hari itu..”

Pada gilirannya, Ali syahid di tangan Ibnu Muljam. Umat Muslim sebagian besar membaiat Sayyidina Hasan, tidak berselang lama Hasan meyerahkan ke khalifahan kepada Muawiyyah untuk menghindari pertumpahan darah sesama muslim.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan pun menjadi khalifah dengan pusat pemerintahan di Syam (Damascus).

Imam at Thabari melaporkan, penyerahan kekuasaan dari Hasan ke Muawiyyah selain untuk kepentingan umat Muslim juga dengan perhitungan,

andai Muawiyyah wafat nanti kekuasaan tentu kembali ke keluarga Nabi SAW

Dan ternyata Muwiyyah berumur panjang, ia berkuasa ± 20 tahun, dan di masa pemerintahanya Sayyidina Hasan wafat (konon di racun). Hari demi hari berganti, hingga Mu’awiyah wafat dan di ganti putranya, Yazid.

Yazid dalam beberapa literatur Tarikh menjadi tersanggka atas peristiwa Karbala, sebab ia yang menjadi pucuk pimpinan atas perintah "menghalangi" Husein menuju Kuffah.

Kembali ke Hanafiyah , setelah Yazid wafat, di gantikan Marwan bin Hakam, di era ini konfrontasi terjadi antara Syam yang di kendalikan Marwan dengan Makkah yang dalam kendali Abdullah bin Zubbair.

Belum berahir pertikaian, Marwan wafat.

Khilafah jatuh ke tangan Abdul Malik bin Marwan.

Khalifah baru ini dibai’atkan oleh muslimin penduduk Syam. "Namun penduduk Hijaz tetap lebih memilih berbai’at kepada Abdullah bin Zubair".

Ketika itu, Abdullah bin Zubair (Putra dari Asma binti Abu Bakar) meminta kepada Muhammad Hanafi agar melakukan bai’at beserta segenap penduduk Hijaz.

Namun Hanafi mengetahui bahwa bai’at akan menjadikan dia terikat kepada yang dibai’at.

Dia harus selalu membantunya, termasuk menghunus pedang terhadap siapa saja yang menentangnya. Padahal yang menentangnya adalah sesama muslimin yang memilih untuk berbai’at kepada pihak lain.

Masih terngiang dalam ingatan Hanafi ketika peristiwa Shiffin. Bertahun telah dilalui, namun dia tak mampu menepis, terngiang-ngiang seruannya: “Wahai kaum muslimin.. wahai saudara-saudar muslimin… ingatlah Allah.. Allah.. wahai saudara-saudara muslimin..!

Untuk siapa lagi wanita dan anak-anak kita? Siapa yg akan membela agama dan kehormatan kita dari Romawi dan orang-orang Dailam?”

Beliau benar-benar tak mampu melupakan hal itu.

Ditambah peristiwa Karbala yang merenggut nyawa kakanya Husein bin Ali.

Beliau berkata kepada Abdullah bin Zubair :

“Paman engkau tahu benar bahwa aku tidak ingin melakukan hal itu. Kedudukanku hanyalah sebagai seorang muslim. Bila seluruh muslimin telah bersepakat atas salah satu dari kalian,

maka aku tidak keberatan untuk berbai’at kepada engkau maupun dia. Untuk sementara aku belum ingin berbai’at baik kepadamu maupun kepadanya.”

Dalam waktu yang tak terlalu lama banyak orang yang bergabung dengan Hanafi karena sependapat dengannya, jumlah mereka mencapai tujuh ribu orang. Mereka lebih mengutamakan menjauhi fitnah.

Berita tentang penolakan atas ajakan Abdullah bin Zubair terhadap Muhammad Hanafi dan sahabat-sahabatnya sampai ke telinga Abdul Malik bin Marwan, ia berinisiatif untuk mengeluarkan al Hanafi dengan pengikutnya sehingga berkurang kekuatan Hijaz.

Dia mengirim surat di antara isi surat tersebut adalah sebagai berikut :

“Telah sampai berita kepada kami bahwa Ibnu Zubair telah menekan Anda beserta pengikut-pengikut Anda dan tidak lagi menghargai hak-hak Anda. Oleh karena itu, negeri Syam terbuka bagi Anda semua.

Kami menyambut kedatangan Anda dengan dada dan tangan terbuka. Anda boleh tinggal di bagian mana saja yang Anda kehendaki sebagai sesama keluarga dan tetangga yang terhormat.

Dan Anda semua akan mendapati kami sebagai orang-orang yang tahu menjaga hak, tidak melupakan kebijaksanaan, dan menghubungkan silaturahmi dengan baik, insyaAllah..”

Muhammad Hanafi beserta pengikutnya berangkat menuju Syam.

Mereka kemudian menetap di kota Ailah, sebuah wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan Abdul Malik. Para penduduk di kota itu menyambut mereka dengan hangat dan menjadi tetangga yang baik.

Mereka menyayangi dan menghormati Muhammad Hanafi setelah melihat ketekunannya dalam ibadah dan kezuhudannya, makin banyaklah pengikut al Hanafiyah.

Berita tentang keadaannya sampai ke telinga khalifah Abdul Malik. Dia pun bingung dalam menentukan sikap.

Dia mengumpulkan para pejabatnya untuk bermusyawarah, lalu mereka berkata, “Tidak layak Anda mengizinkan dia berada dalam kekuasan Anda sedangkan dia sebagaimana Anda ketahui. Sebaiknya Anda tawarkan kepadanya untuk berbai’at kepada Anda atau kembali ke tempat asalnya.”

Keputusan diambil, Abdul Malik menulis surat kepada Hanafiyyah sebagai berikut:

“Anda menetap di daerah kami, sedangkan pertikaian masih berlangsung antara saya dan Abdullah bin Zubair. Anda adalah seorang yang terpandang di kalangan kaum muslimin.

Oleh sebab itu, saya memandang perlunya Anda berbia’at kepada saya, apabila Anda ingin tinggal dalam wilayah kekuasaan saya. Bila Anda berbai’at, kebetulan ada seratus kapal yang baru tiba dari Kulzam, semuanya saya serahkan kepada Anda.

Lalu ada tambahan lagi sebesar seratus ribu dirham dan semua kebutuhan Anda beserta sanak keluarga akan selalu kami cukupi. Tetapi apabila Anda menolak, sebaiknya Anda segera keluar dari wilayah kekuasaan.”

Setelah menerima dan membaca surat tersebut, Hanafi membalas :

“Dari Muhammad Hanafiyyah kepada Abdul Malik bin Marwan.

Keselamatan semoga tercurah atas Anda setelah bertahmid kepada Allah yang tiada Ilah yang haq selain Dia.

Saya mengira Anda takut dan khawatir terhadap saya, sedangkan Anda sudah tahu sikap dan pendirian saya dalam persoalan ini.

Demi Allah, seandainya seluruh umat ini berkumpul kecuali satu kelompok dari satu desa saja, saya tetap menerimanya dan tidak memeranginya.

Saya telah datang ke Mekah kemudian Abdullah bin Zubair meminta agar saya membai’at kepadanya. Kemudian Anda menulis surat kepada saya dan menawarkan untuk tinggal di daerah Syam.

Saya memilih tinggal di suatu kota di tepian wilayah Anda karena biaya hidup lebih murah, lagi pula jauh dari wilayah kekuasaan Anda. Sekarang Anda menulis surat kepada saya disertai ancaman, maka kami memilih pergi dari Anda, InsyaAllah.”

Mendapat jawaban seperti itu Abdul Malin bin Marwan menetapkan pengawasan ketat terhadap Al Hanafi beserta pengikutnya.

Tidak lama ketika rasa bingung menggelayuti pikiran Muhammad Hanafi dan pengikutnya di tempat mereka tinggal.

Atas kehandak Allah Subhanahu wa Ta’ala, Hajjaj bin Yusuf berhasil membunuh Abdullah bin Zubair, kemudian semua orang berbai’at kepada Abdul Malik bin Marwan.

Maka tak ada lagi pilihan lain bagi Muhammad Hanafi kecuali menulis surat kepada Abdul Malik:

“Kepada hamba Allah Abdul Malik bin Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad bin Ali. Setelah mengikuti perkembangan, saya melihat bahwa kekuasaan sudah kembali ke tangan Anda. Orang-orang sudah berbai’at kepada Anda melalui wali Anda di Hijaz.

Saya kirimkan pernyataan tertulis ini kepada Anda. Wassalam.’

Sesampainya surat itu, Abdul Malik membacakan di hadapan sahabat-sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya beliau ingin mengganggu dan menimbulkan keonaran di antara muslimin,

dia mampu melakukannya dan engkau tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh sebab itu, tulislah jawaban untuknya agar dia berjanji dan bersumpah untuk menjaga ketenteraman atas nama Allah SWT dan Rasul-Nya agar tidak timbul kekacauan karena kekuatan dan banyaknya pengikut beliau.”

Maka, Abdul Malik bin Marwan pun menulis surat jawaban untuk Hanafi dan memerintahkan kepada Hajjaj bin Yusuf, agar senantiasa menghormati, menjaga kedudukannya, dan berbuat baik kepada Muhammad Hanafiyah.

Beiau wafat pada tahun 81 H

Demikianlah cara Muhammad Hanafi bin Ali Radhiallahu’an menghindari perpolitikan, ia menjadi semacam tolak ukur para ulama-ulama di zaman sesudahnya dalam perihal "uzlah" menjauhi diri dari keramaian.



Tidak ada komentar

Posting Komentar