Pernah mendengar nama Syeikh Siti Jenar, kan???. Mungkin bagi masyarakat Jawa Tengah nama itu tidak asing lagi.
Ybia Indonesia - Syeikh Abdul Jalil atau Sunan Jepara merupakan nama lain dari Syeikh Siti Jenar atau Syeikh Lemah Abang.
Untuk memudahkan ingatan kita, maka saya gunakan Nama familiar beliau saja. Yakni Syeikh Siti Jenar. Kalau ingin menggunakan mana Syeikh Abdul Jalil ya silahkan saja...
Kisah beliau sering diceritakan dalam berbagai pertunjukan ketoprak di Jawa Tengah. Sejak kecil saya sudah familiar dengan nama tokoh satu ini.
Asal usul Syeikh Siti Jenar hingga kini masih menjadi misteri. Siapa sosok sebenarnya Syeikh Siti Jenar masih mengundang banyak pertanyaan.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Syeikh Siti Jenar yang namanya bermakna tanah merah itu memiliki nama asli Raden Abdul Jalil.
Selain itu, ternyata beliau juga memiliki banyak nama sebutan, setidaknya ada 16 nama yang disandangnya.
Nama-nama tersebut diantaranya; San Ali, Syeikh Abdul Jalil, Syeikh Lemah Abang, Hasan Ali, Sunan Jepara, Sitibrit, Syeikh Lemahbang dan Syeikh Siti Jenar.
Nama terakhir, yakni Syeikh Siti Jenar merupakan nama filosofis yang menggambarkan ajaran tentang 'Sangkan-Paran'.
Dalam 'Sangkan-Paran', manusia, secara biologis, hanya diciptakan dari tanah merah dan selebihnya adalah Dzat Allah SWT.
Dalam kitab Negara Kertabumi yang dikutip Sofwan, dkk dalam buku Islamisasi di Jawa, disebutkan bahwa Syeikh Siti Jenar lahir di Semenanjung Malaka.
Bekiau adalah putra Syeikh Datuk Saleh, adik sepupu Syeikh Dzatul Kahfi, seorang penyebar agama Islam terkenal di Jawa Barat yang juga merupakan salah satu guru Sunan Gunung Jati.
Dalam buku itu disebutkan bahwa Syeikh Siti Jenar memiliki hubungan darah dengan dengan Sunan Ampel dan wali lainnya.
Saat beranjak dewasa, Syeikh Siti Jenar pergi ke Persi dan tinggal beberapa lama di Bagdad. Setelah itu, ia pergi ke Gujarat dan kembali lagi ke Malaka.
Terlepas dari ajarannya yang kontroversial tentang konsep Manunggaling Kawula Gusti, namun nama Syeikh Siti Jenar tetap memiliki andil dalam penyebaran agama Islam di tanah air khususnya Pulau Jawa.
Dalam beberapa hal pandangan Syeikh Siti Jenar memang tak sejalan dengan para wali, namun secara konsep syiar Islam apa yang dilakukannya cukup memberi arti bagi para pengikutnya.
Versi lain mengatakan bahwa beliau lahir di Persia atau yang kini bernama negara Iran pada kurang lebih tahun 1403.
Siti Jenar memiliki nama kecil Abdul Jalil. Syeikh Siti Jenar dipercaya masih keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis keluarga Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib.
Karena turut menyebarkan agama Islam di tanah air, Abdul Jalil kemudian mendapat gelar Syeikh. Bahkan ada yang mengatakan, Syeikh Siti Jenar juga mendapat gelar Sunan sebagai Sunan Jepara.
Soal gelar Sunan yang disandang Syeikh Siti Jenar juga tak lepas dari kontroversi. Ada yang menyebut karena ajarannya yang dinilai menyimpang maka Sunan Jepara tidak masuk dalam daftar sembilan wali dalam Wali Songo.
Syeikh Siti Jenar berguru kepada ayahnya bernama Sayyid Sholeh atau Datuk Sholeh yang dikenal sebagai ahli tafsir Al Quran.
Karena ketekunannya Syeikh Siti Jenar bahkan sudah hafal Al Quran sejak usia 12 tahun.
Syeikh Siti Jenar tiba di Nusantara saat ia berumur 17 tahun mengikuti ayahandanya berdagang sekaligus berdakwah di Malaka.
Ayah Syeikh Siti Jenar lalu diangkat sebagai mufti (ulama yang berwenang menafsirkan kitab dan memberikan fatwa kepada umat) oleh penguasa Kesultanan Malaka saat itu, yakni Sultan Iskandar Syah.
Pada tahun 1425 ayahandanya pindah ke Cirebon bersama Syeikh Siti Jenar dan dipercaya sebagai penasihat agama kesultanan bersama Maulana Malik Ibrahim atau yang kelak dikenal sebagai Sunan Gresik.
Hingga akhir hayatnya Sayyid Sholeh menetap di Cirebon dan Syeikh Siti Jenar ditunjuk sebagai penerusnya.
Di tanah Jawa, Syeikh Siti Jenar semakin mendalami agama Islam di Demak yang merupakan pusat ajaran Islam di Jawa kala itu.
Syeikh Siti Jenar juga berguru kepada sejumlah wali termasuk Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Dari sinilah Syeikh Siti Jenar mulai mengenal konsep Manunggaling Kawula Gusti.
Syeikh Siti Jenar kemudian bermukim di Jepara dan mendirikan sebuah pondok pesantren.
Para wali dan ulama di wilayah kekuasaan Demak kala itu sebenarnya hanya diberi kewenangan untuk mengajarkan syahadat dan tauhid saja.
Namun Syeikh Siti Jenar menentang dan berani memberikan materi tentang ilmu ma’rifat serta hakikat.
Saat konsep Manunggaling Kawula Gusti terdengar oleh para wali, Syeikh Siti Jenar segera dipertemukan untuk menjelaskan tentang pemahaman tersebut.
Beberapa wali yang hadir kala itu diantaranya Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Kudus.
Bagi Syeikh Siti Jenar, inti paling mendasar tentang syahadat dan tauhid adalah manunggal (bersatu). Artinya, seluruh ciptaan Tuhan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan sehingga menjadi Manunggaling Kawula Gusti.
“Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh (manusia itu sendiri),” kata Syeikh Siti Jenar.
Perbedaan penafsiran ayat Al Quran tersebut yang menimbulkan polemik. Namun demikian para pengikut Syeikh Siti Jenar menegaskan bahwa Sunan Jepara tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan.
Ajaran Manunggaling Kawula Gusti bukan dianggap sebagai bercampurnya Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya. Manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dari kisah beliau kita belajar tentang sebuah pemahaman sebuah konsep keilmuan. Bagaimana ketika seseorang menyampaikan perihal tauhid, dan ilmu lainnya maka harus benar-benar menakar kapasitas muridnya.
Selain itu, menyampaikan hal-hal yang bersifat khusus tidak bisa disampaikan pada sembarang orang dengan keterbatasan pemikiran mereka agar tidak terjadi kesalahpahaman dan seolah menjadi paham yang salah.
Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar
Posting Komentar