Perempuan Tangguh dan Visioner dari Jepara.
Ybia Indonesia - Ratu Kalinyamat merupakan perempuan yang luar biasa dan mendahului zamannya dalam perlawanan terhadap kolonialisme.
Bentuk-bentuk perjuangan yang ditunjukkan Ratu Jepara itu, terungkap dalam sejumlah kajian ilmiah, yang layak sebagai dasar dukungan untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional.
Ratu Kalinyamat merupakan keturunan Brawijaya V, raja terakhir Majapahit dari Raden Patah (Raja Demak pertama). Nama aslinya adalah Retna Kencana (meninggal tahun 1579).
Beliau merupakan puteri raja Demak Trenggana yang menjadi bupati di Jepara. Ia terkenal di kalangan Portugis sebagai sosok wanita pemberani.
Ayahnya sang Sultan Trenggana, adalah anak dari Raden Patah yang juga Sultan Demak III (1505-1521).
(M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern).
Sepak terjang Ratu Kalinyamat membuat Portugis menyebut sang ratu sebagai Rainha de Jepara Senora de Rica yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya.
Menurut catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran Hadirin.
Nama asli Pangeran Hadlirin adalah Sayyid Abdurrahman Ar Rumi yang merupakan putra kedua raja Muchayat Syah (Aceh) yang pernah didaulat menjadi raja menggantikan ayahanda dengan senang hati dilimpahkan kepada kakaknya Raden Takyin.
Meski demikian, sebagai gantinya ia pernah menjadi raja di Jepara sehingga berjuluk Sultan Hadlirin (Raja Pendatang).
Pesan-pesan Sultan Hadlirin:
Pertama;
"Wani ngalah bakal luhur wekasane."
(Berani mengalah, akan mulia di kemudian hari)
Ke-dua;
"Berakhlakul karimah dan saat memiliki ketrampilan tidak perlu dipamer-pamerkan.
Ketiga;
"Dadi anak raja kudu bisa macak ina."
(Menjadi anak raja/penguasa harus bisa berdandan hina)
Ke-empat;
"Masjid tempat untuk menyelesaikan segala urusan."
Kelima;
"Sregep dzikir, mikir lan ora lali ngukir,”
(Rajinlah berdIkir, berfikir dan tidak lupa mengukir red:kebaikan)
Ratu Kalinyamat pernah melakukan "Topo Wudo" (Bertapa telanjang) ketika suaminya dibunuh secara keji oleh Pangeran Arya Penangsang.
Namun, itu ungkapan sanepo orang-orang Jawa kuno. Masyarakat menafsirkan ritual topo wudo bertapa sambil melepaskan semua pakaiannya.
Padahal "topo wudo"yang dilakukan Ratu Kalinyamat bukan dengan bertelanjang. Melainkan meninggalkan semua atribut kerajaan sebagai Ratu, berbaur dengan masyarakat desa.
Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar
Posting Komentar