Makam Sunan Gunung Jati Gagal Di Bom Belanda

Tidak ada komentar


Ybia Indonesia - Tingkah penjajah Belanda saat menguasai Kesultanan Cirebon beraneka ragam, kadang menampakan persahabatan juga dilain waktu menampakan wujud aslinya, yaitu serakah, licik dan tentunya kejam. Salah satu tingkah penjajah Belanda yang terbilang licik adalah rencana pengeboman pada makam Sunan Gunung Jati.

Bagi masyarakat Cirebon, Sunan Gunung Jati adalah sosok yang tiada duanya, sebab beliau merupakan leluhur dan Sultan Cirebon pertama sekaligus juga Wali Allah yang mendakwahkan Islam di Pasundan, sehingga kedudukan Sunan Gunung Jati bagi masyarakat Cirebon amat begitu dihormati.

Bagi orang Cirebon yang memegang teguh kehormatan leluhur dan ajaran Islam bahwa memusuhi leluhurnya yang notabene sebagai wali Allah termasuk didalamnya menghinakan makam sang Wali dianggap sebagai penghinaan atas Islam dan leluhur mereka. Maka jika saja rencana Belanda untuk mengebom makam Sunan Gunung Jati dilaksanakan sepertinya catatan sejarah perlawanan rakyat Cirebon pada penjajah Belanda akan lain ceritanya.

Dipahami secara sepintas, memang sepertinya rencana Belanda untuk mengebom makam Sunan Gunung Jati di penghujung tahun 1818 Masehi adalah rencana terbodoh selama Belanda menjajah Cirebon. Akan tetapi jika dipahami secara mendalam rencana pengeboman makam Sunan Gunung Jati pada hakikatnya merupakan strategi licik Belanda yang terbukti efektif dalam memadamkan pemberontakan di Cirebon yang berlarut-larut.

Latar Belakang Rencana Pengeboman Makam Sunan Gunung Jati

Memasuki abad ke 19 awal, yaitu dari mulai Tahun 1802 hingga 1818 di wilayah Kesultanan Cirebon meletus pemberontakan besar yang menguras keuangan pemerintah kolonial Belanda.

Pemberontakan bersekala besar memang tidak terjadi setiap bulan, namun terdapat dua periode perlawanan yaitu tahun 1802-1812 M yang dipimpin oleh Bagus Rangin dan periode tahun 1816-1818 M yang dipimpin oleh Bagus Jabin dan Bagus Serit pada kedua periode itulah para pejuang kerap melancarkan aksi-aksi mematikan yang merugikan Belanda. Pemberontakan besar karena dukungan dari para Pangeran dari Keraton dan kaum Ulama yang menghendaki kehancuran Belanda di Cirebon.

Pemberontakan Rakyat Cirebon yang terjadi pada Tahun 1802-1818 berdampak serius bagi pemerintah kolonial Belanda. Menurut Surnyaman sebagaimana yang dikutip Rahayu (2016, hlm 15), bahwa Belanda sekurang-kurangnya telah kehilangan banyak nyawa serdadunya, selain itu dalam rangka melakukan upaya penumpasan, Belanda juga sekurang-kurangnya telah menghabiskan sebanyak 150.000 Gulden.

Dampak buruk pemberontakan Rakyat Cirebon bagi Belanda juga tercatat dalam tulisan P.H. Van Der Kemp yang menyaksikan langsung peristiwa itu, ia mencatat bahwa “Pemberontakan sungguh sudah gawat sekali. ...”, Dicatat  pula “...,Bupati Sumedang diminta agar mengirim pasukan bersenjata ke medan pertempuran, sebanyak yang dapat dikumpulkan segera, semuanya untuk diperbantukan kepada Residen Cirebon ...” . Dan selain dari Sumedang, berbagai pasukan bersenjata dari daerah-daerah lainpun didatangkan”. (Kemp, 1979, hlm 16-20)

Sulitnya Belanda dalam menumpas pemberontakan dikarenakan para pejuang menggunakan berbagai macam strategi perang gerilya dan strategi tipuan yang jitu.

Menurut catatan Opan Safari (2015) sebagaimana yang ia peroleh dari sumber-sumber tradisional, bahwa para pejuang dalam peristiwa pemberontakan rakyat Cirebon melakukan penyerangan dengan menggunakan strategi gerilya yang berbeda-beda. Hal itu membuat pihak kolonial tidak mudah membaca pergerakan para pejuang perang ini. Salah satu strategi yang digunakan ialah strategi yang dikenal dengan istilah strategi suluhan yang dilakukan dengan cara menjebak dan mengecoh perhatian pasukan Pemerintah Kolonial dengan menggunakan ratusan kunang-kunang.

Akibat pemberontakan yang dilancarkan rakyat Cirebon, pada tahun 1806, Nicholaus Engelhard, seorang Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang ditugasi untuk mengatasi permasalah tersebut, mendapati aktivitas di Cirebon terhenti. Banyak abdi dalem keraton yang keluar dan bergabung dalam gerakan perlawanan (Ekadjati, hlm 100)

Selanjutnya dalam laporan Residen Servatius pada tahun 1817 disebutkan bahwa selama gerakan perlawanan tahun 1806 penduduk telah membakar semua pabrik gula serta membinasakan tanaman tebu. Sementara itu menurut Daendels, korban jiwa akibat gerakan perlawanan itu kira-kira sebanyak satu per lima jumlah penduduk. (Breman, 1986, hlm 21-28)

Jumlah rakyat yang mengangkat senjata sangat banyak yakni sekitar 40.000 orang. Mereka terbentuk dari orang-orang yang telah siap untuk bertempur dan dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari berbagai wilayah Cirebon, seperti wilayah kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, Sumedang, Karawang dan Subang. Pasukan-pasukan perlawanan  terdiri dari Pasukan Pengawal Raja, Pasukan Santri dan Pasukan Suratani (Opan Safari, 2015).

Pasukan pengawal raja merupakan pasukan yang berasal dari keraton-keraton Cirebon seperti beberapa Pasukan Keraton Kasepuhan yang dibawa Pangeran Muhammad Syafiudin ketika meninggalkan keraton. Sementara Pasukan Santri merupakan para santri yang telah dibekali kemampuan bela diri di pesantren-pesantren Cirebon yang dibangun oleh para tokoh keraton yang juga merupakan tokoh agama. Dan Pasukan suratani merupakan pasukan yang terdiri dari para petani yang peran utamanya adalah sebagai penyedia bahan makanan ketika pelaksanaan gerakan perlawanan tersebut.

irim ke medan tempur.

Residen Cirebon dalam suratnya tanggal 30 Januari 1818 memberitahukan bahwa serangan umum pada kaum perlawanan ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1818 dan dengan optimis dia berkata “.. kita akan dapat segera mengetahui berhasilnya operasi militer itu.” Namun ternyata, serangan umum pada awal bulan Februari yang telah dipersiapkan dengan lengkap itu justru mengalami kekalahan (Kemp, hlm 21-22)

Pada tanggal 6 Agustus 1818, pasukan perlawanan melakukan penyerangan ke markas besar di Palimanan. Dinding gardu yang sedang dalam proses pembangunan diserbu dan mereka berhasil merebut sebagian dari persenjataan. Pasukan pelopor Belanda yang bersiaga di sana merasa gentar dan mundur ke Kali Tanjung. Namun kemudian, pasukan perlawanan juga mundur setelah Kriege datang dan mengerahkan pasukannya, sehingga tak ada pasukan perlawanan yang tertangkap termasuk Bagus Serit. (Kemp, hlm 46)

Pada tanggal 8 Agustus 1818 bentrokan antara pasukan perlawanan dan pasukan Belanda di bawah pimpinan Krieger kembali pecah di dekat desa Sumber. Pasukan Bagus Serit berhasil mengalahkan pasukan dipimpin J. Franken, namun Franken berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi pada tahap selanjutnya pasukan Franken yang dibantu pihak penguasa local berhasil mengalahkan pasukan perlawanan pimpinan Bagus Serit, Bagus Serit tertangkap. Dan setelah melewati proses pengadilan, Bagus Serit dan Nairem dijatuhi hukuman mati pada tanggal 17 November 1818. Sementara itu, dilakukan sejumlah pembuangan terhadap para anggota perlawanan yang tertangkap. Berdasarkan beslit tanggal 12 Desember 1818 No. 6, 14 orang tahanan dikirim ke Banda untuk bekerja seumur hidup di perusahaan pemerintah, 7 orang tahanan dibuang ke Banyuwangi untuk bekerja di kebun kopi gubernemen, dan bagi tiga orang pengacau lain yakni Sapie, Lejo dan Ribut dijatuhi hukuman dera dan dibuang selama 7 tahun dengan memakai rantai. (Kemp, hlm 46)

Setelah peristiwa dihukum matinya para pimpinan perlawanan, gerakan perlawanan rakyat Cirebon pun berhenti. Namun menurut penuturan Akbarudin, perlawanan rakyat tersebut masih berlanjut, perlawanan setelah peristiwa tahun 1818 benar-benar baru berhenti setelah Belanda mengancam akan mengebom makam Sunan Gunung Jati. (Rahayu, 2016:172). Oleh karena itu menurutnya karena perlawanan berhenti, maka Belanda mengurungkan niat pengeboman pada makam Sunan Gunung Jati.


Penulis : Bung Fei

Editor : Sejarah Cirebon

Tidak ada komentar

Posting Komentar