Ybia Indonesia - Setelah kemarau panjang tahun 2023 sehingga petani gagal panen, Selanjutnya sejak awal 2024 terjadi curah hujan yg tinggi. Banjir melanda DKI Jakarta, Demak, Cirebon, Padang , Kota Bandar Lampung dan hampir semua kota pantai di Indonesia.
Kota di wilayah Pantura dan sekitarnya sejak bulan Februari 2024 masih meninggalkan luka mendalam bagi para korban banjir, tak hanya kerugian material tapi juga kehilangan nyawa.
Alam menjadi tak bersahabat bagi masyarakat ketika musibah banjir datang. Sungguh saat ini air seperti ‘musuh’ nyata bagi masyarakat korban banjir.
Semoga pasca banjir, perlahan tapi pasti para korban menata kehidupan baru. Moment banjir juga harus kita manfaatkan untuk kembali belajar dari kesalahan. Kesalahan semua individu terhadap alam yang berujung alam tak lagi bersahabat.
Ada ungkapan yang berbunyi, ‘bersahabat dengan alam’, sebuah ungkapan yang teramat mudah diucapkan, namun sangat sulit untuk kita sebagai masyarakat kota mempraktekkannya. Tapi ungkapan tersebut amat ‘mudah’ dijalankan oleh mereka yang hidup jauh dari hingar bingar perkotaan, yaitu masyarakat adat.
Seperti yang kita ketahui bersama, masyarakat adat dengan segala keterbatasan infrastruktur, teknologi dan informasi yang mereka miliki, nyatanya jarang mendapat musibah tahunan seperti banjir yang menimpa wilayah di kota pantai dan sekitarnya.
Pelajaran amat berharga harus kita lihat dari kata kearifan lokal yang amat dijunjung oleh masyarakat adat. Kearifan lokal yang faktanya bisa menjaga keberlangsungan masyarakat adat selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Adat istiadat leluhur yang senantiasa dijaga kelestarian menjadi kunci mengapa ungkapan yang berbunyi, ‘bersahabat dengan alam’ amat lekat dijalankan oleh masyarakat adat. Kearifan lokal ini yang membawa dampak efek positif akan keberlangsungan ekosistem alam dan keberlangsungan aturan dari kelompok sosial, seperti masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy yang bertempat tinggal di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, kini amat populer di masyarakat kota pada umumnya, tak ada lagi selimut misterius melekat pada komunitas masyarakat yang masih menjalankan adat istiadat leluhur ini. Era keterbukaan dari masyarakat baduy serta pesatnya laju informasi baik seperti di dunia maya yang menjelaskan mengenai masyarakat baduy serta seluruh alam yang mereka tempati, menjadi daya tarik kuat untuk masyarakat kota untuk bisa belajar dari suku baduy.
Untuk ukuran orang kota mengunjungi perkampungan baduy, utamanya baduy dalam seperti memasuki satu kawasan yang jauh dari hingar bingar kemajuan teknologi dan budaya seperti di daerah perkotaan. Di perkampungan baduy tidak ada listrik, tidak ada pengerasan jalan, tidak ada fasilitas pendidikan formal, tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya sangat sederhana.
Urang Rawayan di Tanah Kenekes
Ada sebutan lain yang jarang di ketahui masyarakat kota/luar mengenai masyarakat baduy, orang baduy lazim menyebut diri mereka sebagai, urang rawayan atau urang kanekes.
Orang baduy sendiri dari banyak literatur disebut terbagi menjadi 2 yaitu, orang baduy luar dan orang baduy dalam, dengan wilayah tempat tinggal yang juga terbagi 2.
Tetapi ada juga sumber yang menyebutkan bahwa ada kelompok Baduy ketiga yang disebut Baduy Dangka, mereka tidak tinggal di Desa Kanekes tetapi tinggal disekitar desa Kanekes. Penyebutan baduy terhadap mereka pun mempunyai beragam versi yang berbeda satu sama lain, ada yang menyebut nama tersebut diambil dari sebuah suku di negara Arab yang bernama Badwi yang hidup secara nomaden di gurun pasir. Versi lain menjelaskan bahwa nama baduy diambil dari nama bukit dan mata air Cibaduy yang di selatan Desa Kanekes tempat mereka tinggal.
Masyarakat baduy sendiri menyebut dirinya dengan sebutan orang Kanekes yang berarti orang Sunda.
Orang baduy menempati wilayah seluas 5.101,8 hektar berupa hak ulayat yang diberikan oleh pemerintah. Luas tanah ulayat tersebut terbagi atas beberapa desa baduy luar, baduy dangka, dan baduy dalam.
Hak Ulayat merupakan kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup.
Tanah Ulayat ini menurut masyarakat adat baduy timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah lain yang berdekatan dengan wilayah masyarakat adat.
Kelompok adat mengatur yang berhubungan dengan tata cara, keharusan,larangan, dan pantangan. Kelompok remaja bertugas mencatat dalam ingatan mereka sebagai generasi penerus tradisi kaum tua.
Adanya pengetahuan di kalangan orang Baduy yang terwujud dalam 4 ungkapan
sebagai berikut:
1• Ngaraksakeun sasaka pusaka buana (memelihara sasaka pusaka buana);
2• Ngaraksakeun Parahyang (memelihara tempat leluhur);
3• Ngasuh ratu ngajaga menak (mengasuh ratu dan menjaga menak);
4• Ngamertapakeun nusa telung puluh telu, bagawan sawidak lima, pancer
salawe (menyelamatkan seluruh isi alam jagad raya).
Ungkapan tersebut mengandung makna tentang keberadaan mereka di wilayah Gunung Kendeng itu untuk melaksanakan tugas menjaga kelestarian lingkungan alam melalui penyelamatan wilayah hulu sungai sebagai air sumber kehidupan.
Dalam pandangan mereka, wilayah tersebut adalah wilayah yang suci (Parahyang) yang merupakan wilayah penyangga utama dalam mempertahankan kejayaan raja Siliwangi dan keturunannya serta para pengikut, serta negara dan masyarakat seluruhnya.
Dalam upaya mempertahankan kelestarian lingkungan alam di sekitar Gunung Kendeng
itu, orang Baduy dibimbing oleh suatu sistem politik yang kompleks.
Sistem itu dimanifestasikan dengan sistem pertahanan berlapis dalam klasifikasi 3: dangka atau kampung penyangga di luar Kanekes , panamping (Baduy Luar) dan pajeroan (Baduy Daleum), diikat oleh sistem politik yang hierarkis, namun bersifat egaliter dalam mempertahankan solidaritas sosial dan kebersamaan dengan bimbingan moral, etika, dan aturan yang tertuang dalam nilai-nilai agama Sunda Wiwitan warisan Prabu Siliwangi.
Dasar moral agama Sunda Wiwitan itu tercermin pada pandangan orang Baduy dalam memelihara keseimbangan hubungan antara manusia dan sesamanya, manusia dan
lingkungan alam, serta manusia dan Tuhannya, yang dalam konsep Sunda Wiwitan disebut Sanghyang Tunggal (Yang Maha Tunggal).
Hal ini tampak dari pemahaman mereka tentang hidup dan mati yang bersumber dari alam dan kembali ke alam. Kata wiwitan dalam Bahasa Sunda berarti permulaan. Namun, di kalangan orang Baduy kata wiwitan tersebut dipahami berasal dari kata wit-wit-an yang berarti pepohonan. Mereka beranggapan bahwa unsur-unsur tubuh manusia berasal dari pepohonan atau tanaman. Dari sari-sari
pepohonan atau tanaman itu terjadi buah
jabang bayi, yang kemudian pohon itu tumbuh
menjadi besar (dewasa). Mereka juga
mengemukakan bahwa tulang sumsum manusia juga berasal dari unsur-unsur kayu. Apabila manusia mati akan kembali ke tanah (dikubur) dan selanjutnya di sekitar kuburan itu akan tumbuh pepohonan. Dalam tujuh hari seluruh anasir unsur-unsur tubuh manusia itu sudah kembali ke asalnya, yaitu ke tanah. Karena itu, pada setiap makam orang Baduy tidak pernah ada batu nisan, apalagi bangunan cungkup,karena pandangan mereka tentang mati tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat fisik atau materi .
Sesungguhnya, di kalangan orang Baduya ada anggapan bahwa Sunda Wiwitan itu bukan agama, melainkan asal-mula segala agama atau pangkal dari segala agama. Semua agama yang ada akan mencerminkan nilai-nilai dasar ajaran wiwitan atau katitipan wiwitan, menurut istilah mereka. Selanjutnya, menurut keyakinan mereka, hanya orang Baduy yang mendapat tugas untuk mempertapakan, mempertahankan, menjaga, dan menegakkan wiwitan sebagai sumber agama tadi.
Karenanya, mereka beranggapan bahwa wiwitan itu milik semua orang, bukan milik orang Baduy saja. Semua orang, menurut anggapan mereka, harus sayang, melindungi, dan memperteguh wiwitan, karena apabila terjadi perubahan pada dasar-dasar pemahaman wiwitan tersebut
tentu akan terjadi perubahan pula pada seluruh kehidupan. Perubahan tersebut dapat terjadi karena bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, angin ribut, kebakaran , kekacauan negara, dan sebagainya .
Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Mengelola dan Menjaga Air.
Orang baduy memiliki cara yang unik untuk bersahabat dengan alam sebagai bagian dari tempat tinggal mereka. Aturan dan norma yang menjadi pengikat untuk masyarakat baduy dalam mengelola sumber daya alam di sekitar mereka, termasuk di dalamnya air. Tak mengherankan jika kita berkunjung ke baduy, rumah-rumah desa di baduy selalu berdekatan dengan sumber air, yaitu sungai ciujung.
Tiap desa di baduy memiliki batas masing-masing di sungai ciujung, batas ini sebagai acuan untuk orang baduy dalam mengelola dan merawat air sungai ciujung. Aturan adat ini juga bertujuan mencegah terjadinya eksploitasi berlebih dari masing-masing individu terhadap air.
Aturan itu semata hanya untuk menjalankan petuah nenek moyang orang baduy yg berasal dari keturunan Sribaduga Prabu Siliwangi yang berpesan, ‘yang panjang jangan dipanjangkan, yang pendek jangan dipendekkan’, maksudnya hidup berdampingan dengan alam harus sederhana dan tak berlebih.
Selain itu, orang baduy menambah ketatnya pelestarian alam mereka dengan upacara adat, salah satu upacara tersebut yang bernama, upacara kawalu. Upacara ini pada dasarnya bagi orang baduy adalah melakukan bersih-bersih kampung, baik baduy luar, baduy dalam, dan baduy dangka. Di moment upacara kawalu ini pula, orang baduy melakukan pembersihan terhadap sampah-sampah yang berada di sungai ciujung.
Bulan kawalu adalah bulan suci bagi orang baduy, selama bulan lawalu, akan diadakan beberapa upacara adat lama orang baduy khususnya di kampung baduy dalam.
Orang baduy pun tak memiliki kekhawatiran berlebih ketika musim penghujan tiba, orang baduy amat peka terhadap alam tempat tinggal mereka, utamanya sungai. Hal ini bisa kita lihat dari pengetahuan orang baduy tentang air yang akan meluap ketika musim penghujan tiba, mereka hanya melihat dari hulu sungai, apakah banyak sampah yang melintas, jika sudah terlihat banyak gundukan sampah, mereka bisa memastikan air sungai akan meluap.
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Berthe (1965:216-218) dalam Wim van Zanten (1995:517), yang mengemukakan ‘…the Baduy consider themselves to be the guardian of the forest, irrigation sources, and the soil, and at the same time they hold themselves responsible for the destiny of the world.’ Agar
keseimbangan ekosistem wilayah hulu tidak terganggu, mereka yang bermukim di daerah
itu dilarang, teu wasa ‘tabu’, mengolah lahan untuk dijadikan petak-petak sawah, atau mengubah ekosistem kawasan tersebut dengan mencangkul dan menanami dengan tanaman tertentu. Bagi mereka, tanah tidak boleh dibajak, dibajak dan diinjak-injak kerbau. Karenanya, sistem pertanian ladang berpindah, huma ,yang akan digarap setiap 2 tahun setelah humus tanah cukup subur,
merupakan sistem pertanian yang paling sesuai dalam memanfaatkan sumber daya alam di kalangan orang Baduy.
Menurut anggapan mereka, mengubah cara-cara bertani merupakan suatu tindakan
yang bersifat tabu yang diungkapkan dengan
kata-kata ‘…gunung teu meunang dilebur,
lebak teu meunang dirusak…’ (gunung tidak
boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak).
Apabila pantangan itu dilanggar oleh siapa pun, maka akibatnya ‘cita-cita menjadi ratu tidak akan tercapai, menurunkan derajat dan wibawa negara, kalah dalam peperangan, dan seluruh negeri menderita’.
Ungkapan tersebut merupakan suatu kearifan orang Baduy yang perlu kita renungkan saat ini dalam upaya memelihara dan menjaga kelestarian alam agar keberlangsungan hidup umat manusia,kejayaan negara, dan kesejahteraan rakyat
Dari segi pertanian, masyarakat baduy amat menghargai datangnya curah hujan sebagai sumber utama pengairan tanah pertanian mereka. Mereka tidak mau merusak tanah di sekeliling tanah pertanian untuk mendapatkan air atau menemukan sumber mata air, jika musim kemarau tiba, air-air yang berada di sungai Ciujung yang membentang luas di pemukiman orang baduy luar sampai ke hutan larangan yang berada di baduy dalam digunakan sebagai sumber untuk mengairi tanah mereka. Praktek tidak merusak struktur tanah hanya untuk mendapatkan sumber mata air untuk pengairan pertanian menjadi bagian dari hukum adat masyarakat baduy, fungsinya adalah tidak membuat kerusakan pada apa yang telah ada di dalam tanah tersebut seperti pepohonan.
Bahwa setiap pohon memiliki karakteristik di akarnya yang telah ‘menyatu’ dengan sumber mata air yang berada di dalam tanah, dan kita manusia tidak diperkenankan untuk merusak, karena kita sudah mendapatkan bagian dengan adanya curah hujan serta aliran sungai yang melimpah ruah.
Oleh karena itu, kegiatan utama orang Baduy, pada hakekatnya terdiri dari pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan pengelolaan serta pemeliharaan hutan dan sumber air untuk perlindungan lingkungan. Tata guna lahan di Baduy dapat dibedakan menjadi : lahan pemukiman, pertanian, dan hutan tetap. Lahan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk berladang dan berkebun, serta lahan-lahan yang diberakan. Hutan tetap adalah hutan-hutan yang dilindungi oleh adat, seperti hutan lindung (leuweung kolot/titipan), dan hutan lindungan kampung (hutan lindungan lembur) yang terletak di sekitar mata air atau gunung yang dikeramatkan.
Mengenai soal keramatnya hutan lembur atau hutan larangan tersebut, ada hal yang ternyata bertujuan lain dengan adanya label keramat di hutan tersebut, secara tersirat bahwa adanya mata air di dalam hutan tersebut menjadi hal yang wajib untuk dilindungi oleh masyarakat baduy dengan berbagai cara. Artinya label keramat semata dilekatkan untuk membuat orang luar baduy menjadi enggan untuk mengunjungi hutan tersebut.
Aliran Sungai Ciujung yang melintas di wilayah Baduy termasuk di dalam hutan larangan mengalir menuju utara dan bermuara di Laut Jawa dekat dengan Kota Jakarta. Sungai Ciujung merupakan sungai besar yang dimanfaatkan oleh beberapa wilayah yang dilaluinya, terutama untuk sumber air baku PDAM dalam penyediaan air bersih di perkotaan. Dengan demikian wilayah Baduy yang merupakan bagian hulu Sungai Ciujung merupakan daerah vital yang harus tetap dijaga kelestariannya. Kondisi hutan larangan menjadi area yang sangat penting terhadap sistem hidrologi Sungai Ciujung.
Yang juga menarik dari praktek kearifan lokal masyarakat baduy mengelola dan menjaga lingkungan, utamanya air bisa terlihat dengan jelas di desa Cibeo yang termasuk 3 desa baduy dalam.
Aliran sungai Ciujung yang berada di tepat batas masuk desa Cibeo amat sangat jernih, berbanding jauh dengan kondisi sungai Ciujung yang berada di kawasan baduy luar. Jika orang luar selama di kawasan baduy luar masih leluasa untuk mempergunakan segala macam barang atau produk kimia untuk mandi, cuci muka, cuci baju, dan lain-lain maka memasuki desa Cibeo ada aturan adat yang menyebut bahwa semua barang yang mengandung unsur kimiawi, seperti sabun mandi, sabun pencuci muka, detergen, dan lain sebagainya dilarang untuk dibawa masuk ke desa baduy dalam. Tujuannya amat jelas, orang baduy tidak menginginkan zat berbahaya tersebut masuk ke dalam aliran sungai Ciujung melintas masuk ke daerah hutan larangan, tempat yang amat dijaga kelestariannya oleh orang baduy.
Dari paparan singkat diatas, dapat disimpulkan, alam utamanya air adalah sumber kehidupan, bukan malapetaka yang amat ditakuti seperti saat ini.
Kearifan lokal orang baduy haruslah menjadi pembelajaran untuk kita semua bagaimana memperlakukan air sebagai bagian dari alam dan memperlakukan tanah sebagai tempat mengalirnya air.
Musibah banjir yang melanda bukan semata azhab Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi ada faktor tangan kotor manusia yang membuat alam memberikan ganjaran terhadap perbuatan kita tersebut. Belajar dari kearifan lokal orang baduy yang amat sederhana tersebut harusnya bisa membuat kita meyakini bahwa alam bisa menjadi sahabat untuk kita ketika perbuatan kita didasari prinsip kesederhanaan seperti apa yang disebut orang baduy, ‘Yang Panjang Jangan Dipanjangkan, Yang Pendek Jangan Dipendekkan’.
Kepustakaan;
1. Adimihardja, K.
1976 ‘Masyarakat baduy di Banten Selatan’, Buletin YAPERNA. Berita Ilmu-Ilmu Sosial dan
Kebudayaan 3(11).
2. Danasasmita, S.
1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
3. Djoewisno. M.S.
1988 Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Jakarta: Khas Studia.
4. Garna, J.
1988 Tangtu Tilu Jaro Tujuh. Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat.
Indonesia. Tesis Ph.D. tidak diterbitkan. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
5. Halim, A.
nd Badui: Masyarakat ‘Bertapa’ yang Harus Diteguhkan. Manuskrip tidak diterbitkan.
6. Pennings. A.A.
1902 ‘De Badoewi’s in Verband met Enkele Oudheden in de Residentie Bantam’ TBG. Deel
45:370-380.
7. Pleyte, C.M.
1907 ‘Raden Moeding Laja Di Koesoema; Een Oude Soendasche Ridderroman met eene inleiding
over den toekang pantoen’ TBG. 49: 1-159.
8. Sargeant, P.M.
1973 ‘Traditional Sundanese Badui-Area. Banten. West Java’, Bangunan 28(1).
Penyadur Alfaqier G.E.Dip
Tidak ada komentar
Posting Komentar