Ayahanda dari Al Habib Thoha bin Yahya Depok
Ybia Indonesia - Sebagian kalangan masyarakat mungkin kerap mendengar nama Pangeran Suro Hadi Menggolo sebagai sebutan Sunan Terboyo.
Konon dulu beliau sering menaiki buaya. Tapi tak banyak yang memikirkan bila buaya hanyalah kiasan dan sebutan untuk para bajak laut atau penjajah di masa lampau.
Penjaga Makam Sunan Terboyo, Bapak Totok Darmanto mengungkapkan ada dua versi sejarah Sunan Terboyo.
Versi pertama diterbitkan oleh pemerintah.
Menceritakan beliau merupakan Bupati Semarang pada tahun 1808 hingga 1821.
Beliau dari garis keturunan atau putra dari Kyai Soerodirjo, Patih di Pekalongan. Kakeknya adalah Kiai Boostam yang juga berasal dari Semarang.
Pangeran Suro Hadi Menggolo menikah dengan anak perempuan Raden Mas Said Jumeneng Adipati Mangkunegoro I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyowo.
Setelah masa jabatannya berakhir, beliau membangun Masjid Terboyo. Kini makamnya terletak di belakang masjid tersebut. Menurut rekam sejarah, beliau lahir pada tahun 1771 dan wafat pada 1834 pada usia ke-63.
Para pejuang dan ulama zaman dahulu memang memiliki banyak nama dan julukan. Hal itu guna mengelabui dan menghindar dari para penjajah.
Versi kedua yang mengatakan bahwa yang dianggap Pangeran Suro Hadi Menggolo itu adalah Habib Muhammad Al-Qodhi.
Beliau merupakan Ayah dari Habib Thoha Depok Kota Semarang.
Cerita tersebut pernah disampaikan langsung oleh Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Thoha bin Muhammad Ali Qodhi (Sunan Terboyo) bin Yahya Pekalongan.
Sejak muda, beliau telah menjadi mufti besar empat madzhab. Karena itu, gelar Qadhi tidak hanya berlaku di daerah Hadhramiyah saja.
Karena keadilannya, saat di Jawa pun beliau diangkat menjadi kepala para mufti oleh Kesultanan Banten, Jogjakarta dan Cirebon.
Setelah berpindah dari Banten dan Cirebon, beliau tinggal di Semarang. Kemudian mengelola pelabuhan dan berhasil meningkatkan perekonomian masyarakat di daerah pantura.
Para penjajah maupun bajak laut kala itu geram dan mengincarnya, untuk merebut wilayah kekuasaan. Namun yang terjadi, semua bajak laut di pantura tunduk dan masuk Islam karenanya.
Mereka justru menjadi pasukan dan kemudian menjadi pengawalnya. Para bajak laut tersebut mengantar dan mendampingi perjuangan Habib Muhammad Al-Qadhi.
Saat dikatakan diantar oleh buaya, bukan berarti buaya yang sebenarnya. Tapi buaya tersebut itu kiasan yang merujuk pada bajak laut yang menjadi pengawalnya.
Dari situlah awal munculnya sebutan Sunan Terboyo. Bermakna diantar buaya dalam bahasa Jawa.
Masyarakat pelaut Semarang terutama nelayan sangat mengagumi sosok Sunan Terboyo. Beliau berhasil menyadarkan para bajak laut dan menjadi orang-orang yang shaleh.
Bahkan ikut mengawal perjuangannya. Upayanya meningkatkan perekonomian di kawasan pantura hingga menguasai pelabuhan pada waktu itu membawa Semarang menjadi wilayah yang makmur.
Makam Sunan Terboyo berada di Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang.
Makam ini selalu didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia. Sudah 13 tahun lebih Totok Darmanto menjaga Makam Sunan Terboyo. Puluhan ribu peziarah datang.
Banyak di antaranya yang akhirnya akrab setelah beberapa kali berziarah. Bahkan menjadi tempat berbagi ilmu baginya.
Sejak sebelum makam tersebut direnovasi pada 2010, Totok sudah berada di sana. Beliau menjaga bersama seorang temannya.
Kini beliau berjaga sendiri lantaran temannya sudah lama sakit. Setelah lama berkeliling ziarah dari makam para wali di berbagai kota, akhirnya ia memantapkan diri untuk menetap.
Beliau memutuskan untuk menjaga makam ulama yang akrab dikenal sebagai Pangeran Adipati Surohadi Menggolo itu.
"Manusia kan kalau senang dan cinta dengan sesuatu akan rela melakukan banyak hal demi yang dicintainya. Saya pun begitu, punya rasa hormat dan cinta kepada para wali,” Ucap Sang Juru Kunci Makam.
Menurutnya, menjaga dan merawat makam adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan melalui perantara para wali.
Para peziarah rombongan bus biasanya memarkirkan busnya di tepi jalan raya. Makam yang terletak di Tambakrejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang ini memang tak memiliki akses jalan besar dan lahan parkir yang luas. Sehingga tak jarang, peziarah harus berjalan kaki sekitar 300 meter untuk tiba di makam Pangeran Terboyo.
Bagi yang datang menggunakan kendaraan bermotor dapat parkir di depan makam setelah memasuki gang kecil sekitar 100 meter.
Makam tersebut berdampingan dengan Masjid Besar Terboyo dan sekolah. Di depan gerbang juga berdiri pondok pesantren.
Nuansa Islami cukup kental di kawasan tersebut. Begitu pula bulan puasa, peziarah kian berkurang.
Jadi berziarah Peziarah disini macam-macam hajatnya. Ada yang doa pakai tahlil, ratib, atau wukuf.
Mereka semua bertawasul dengan karomah para wali. Ada pula peziarah yang hanya berdiam di depan makam untuk mengosongkan hati dari segala hasrat duniawi.
Ritual wukuf itu lebih akrab disebut semedi sebagaimana kerap disebut kebanyakan orang Jawa.
Sejenak tertegun diseberang Makam setelah sholat maghrib sambil mengamati orang yang datang silih berganti berdoa dimakam namun tak satupun yang dibukakan pintu.
Laki-laki yang tadi memmbukakan pintu Makam untuk kamipun tak tampak di lokasi. Ah, sudahlah...
Keragaman cara bertawasul dan penampilan peziarah membuatku belajar dan tersadar akan satu hal bahwa Manusia tak bisa dinilai hanya dengan melihat penampilan luarnya saja. Karena tak ada yang tahu isi hatinya.
Jadi, jangan tertipu oleh casing semata. Bijak dalam bertutur kata dan jangan pernahenilai atau menjugde siapapun. Kita tidak tau, khawatir ketika kita su'udzon dengan seseorang, ternyata beliau yang kita su'udzoni adalah Waliyullah. Kita takkan pernah tau.
Jaga hati, jaga pikiran, jaga lisan, jaga perbuatan dan jaga diri baik-baik.
Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar
Posting Komentar