Mbah Sholeh Darat

Tidak ada komentar


Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar as-Samarani atau yang sering dikenal dengan nama KH. Sholeh Darat ini lahir pada tahun 1820M di Desa Kedung Cumpleng, Jepara

Ybia Indonesia - KH. Sholeh Darat merupakan Guru dari sederet tokoh terkenal di masa perjuangan, diantaranya, Pendiri Nahdlatul Ulama: Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Muhammadiyah: KH Ahmad Dahlan dan Raden Ajeng Kartini.

Ayahnya Kyai Umar, merupakan tokoh ulama terpandang yang disegani khususnya oleh masyarakat Utara Jawa. Selain itu Beliau adalah orang kepercayaan Pangeran Diponegoro yang menjadi pejuang pada Perang Jawa (1825M-1830M).

Nama ‘Darat’ diambil dari nama wilayah dimana KH. Sholeh Darat tinggal. 

Darat yaitu Suatu kawasan dekat pantai utara kota Semarang tempat mendaratnya orang-orang yang datang dari luar Jawa.

KISAH IMAM GHAZALI BERTAMU KE RUMAH MBAH SHALEH DARAT

Semua Kitab karya Mbah Sholeh Darat berisi ajaran Tasawwuf. Meski membahas fiqih, isinya pun banyak ajaran Tasawwuf. 

Kitab kecil bab shalat dan wudhu, Lathaifuth Thaharah wa Asrarush Shalah, juga berisi ajaran tentang Tasawwuf. Juga kitab Majmu’ Syariat  maupun Pashalatan, ada Tasawwuf di dalamnya. Terlebih dalam kitab yang memang membahas tentang Tasawwuf, seperti:

Munjiyat.

Minhajul Atqiya fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya’.

Tarjamah Al-Hikam.

Dan Syarah al-Burdah. 


Mbah Sholeh sering menukil pendapat dari Imam al-Ghozali dalam karya-karyanya, amat kagum dan hormat kepada Hujjatul Islam tersebut.

Setiap selesai mulang ngaji, Mbah Sholeh menulis, dengan pena tutul dan tinta China yang selalu dicampuri minyak wangi oleh Beliau. Diterangi oleh temaramnya lampu teplok, di atas lembar demi lembar ia tuliskan gagasan, ide-ide dan ulasan-ulasannya.

Suatu malam, Mbah Sholeh kedatangan Seorang tamu yang memakai pakaian khas Arab, berjubah dan memakai surban di kepalanya. Mbah Sholeh sedang berada di ruangannya, menulis kitab Munjiyat: Methik Saking Ihya Ulumiddin. 

Oleh Para Santri, tamu tersebut disuguhi wedang, sebelum diantarkan menemui Mbah Sholeh.

Para santri kembali ke langgar, nderes pelajaran-pelajaran, dari ruangan di sebelahnya yang dipisahkan oleh dinding kayu, didengar oleh mereka sayup-sayup perbincangan antara Mbah Sholeh dengan tamu tadi dalam Bahasa Arab.   

Ketika malam telah semakin larut, Sang tamu berpamitan, Mbah Soleh mengantarkannya sampai serambi rumahnya. Usai melambai di halaman langgar, tamu itu melangkah ke arah jalan besar. Dalam sekejap, ia telah menghilang dalam gelap malam.

“Niku wau sinten, Kyai? (Itu tadi siapa, Kyai?)

Kadose dereng nate tindak mriki? (Rasanya belum pernah datang ke sini?” Tanya seorang Santri Senior, yang menyuguhi wedang tadi. 

“Oh, iku mau Imam al-Ghozali (Itu tadi Imam al-Ghozali), Beliau merestui kitab yang aku tulis". Jawab Mbah Sholeh kalem.

“Subhanolloh, masyaAlloh. Bukankah Imam al-Ghozali sudah wafat ratusan tahun lalu, Kyai?” Ujar mereka takjub sambil bertanya-tanya.

“Ya itulah Karomah Beliau. Mari kita berdo’a tawassul kepada Imam Al-Ghozali agar ilmu kita diberkahi". Pungkas Mbah Sholeh seraya menyuruh santrinya kembali ke langgar.


Tidak ada komentar

Posting Komentar