Ybia Indonesia - KH. Muslim Rifa'i atau yang sering di panggil Mbah Liem ini merupakan sahabat karib dari Mbah Khamid Kajoran.
KH Muslim Rifai Imam Puro, atau akrab disapa Mbah Liem, lahir di Klaten pada 24 April 1924. Mbah Liem tumbuh besar di lingkungan keraton, namun beliau memilih untuk meninggalkan benteng istana.
Sewaktu muda, Mbah Liem merupakan santri kesayangan Kiai Sirodj, seorang kiai besar pengasuh pesantren Pajang, Kartasura.
Beliau dilahirkan di Desa Pengging, Kelurahan Bendan, Kecamatan Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah. Adapun tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti.
Ayahnya bernama R Bakri, dan ibunya bernama RAY Mursilah. Melalui sang ibu, Mbah Liem tersambung nasabnya dengan Sunan Paku Buwono IV (Sunan Bagus, memerintah tahun 1788-1820) Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Nama Imampuro yang melekat di belakang namanya adalah nama ayahanda ibunya (kakek), RMNg Imampuro.
Pendidikan formal tertinggi Mbah Lim yang tercatat adalah PGA Mambaul Ulum Surakarta. Namun beliau memilih keluar dari sekolah guru ini di tengah jalan lantaran sakit hati dengan gurunya.
Gara-garanya, sang guru bilang bahwa Mbah Liem tidak cocok menjadi guru karena bicaranya gagap dan sulit dipahami. Mbah Liem membahasakannya dengan gropyok.
Mengenai awal mula ucapan yang gagap ini, menurut sumber beberapa kerabat, terjadi ketika Mbah Liem masih kecil.
Pernah suatu ketika, entah kenapa, Mbah Liem kecil mati suri dan setelah hidup kembali dari mati suri inilah ucapan-ucapan Mbah Liem menjadi gagap sampai dewasa.
Keluar dari Mambaul Ulum, Mbah Liem berkelana ke berbagai daerah. Mulai dari Banten, Cirebon, hingga Madura.
Beliau tidak mau menyebutnya dengan istilah nyantri atau mondok. Bahkan beliau pernah menjadi pegawai honorer di salah satu stasiun kereta api di Jakarta.
Kira-kira tahun 1950, keadaan membawanya ke Klaten. Awalnya Mbah Liem tinggal di sebuah desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Namun karena kebanyakan mereka adalah penganut Darul Hadits (sempalan Islam Jamaah), akhirnya beliau pindah ke Kampung Klabakan. Sebuah kampung yang mayoritas penduduknya adalah pelaku molimo dan berafiliasi ke PKI.
Di desa ini beliau mendirikan masjid yang di namai dengan Masjid Al-Muttaqien. Beliau mulai berjuang menyebarkan Islam dan membentuk tim yang di namai dengan Pandawa Lima, yaitu lima tokoh masyarakat yang membantu Mbah Liem dalam berdakwah dan menerjemahkan ajaran-ajarannya.
Penduduk Desa Klabakan terus memusuhi dakwah Mbah Liem dan para santrinya. Hingga ketika tahun 1965 terjadi penangkapan besar-besaran terhadap para petinggi PKI dan para simpatisannya, warga Klabakan berduyun-duyun sowan ke Mbah Liem untuk meminta perlindungan. Dan mereka pun dilindungi oleh Mbah Liem.
Dalam perjalanan selanjutnya, Desa Klabakan diganti namanya oleh Mbah Liem menjadi Sumberejo Wangi.
Tahun 1972, Mbah Liem secara resmi mendirikan pondok pesantren. Awalnya beliau akan menamai pesantrennya dengan Pesantren Tebuireng II, untuk tabarukan dengan Tebuirengnya Mbah Hasyim Asy’ari di Jombang.
Namun keinginan itu dicegah oleh Gus Dur, karena ia tidak mau repot berurusan dengan KH. Yusuf Hasyim.
Akhirnya, oleh Mbah Liem, pesantren ini dinamakan dengan Al-Muttaqien Pancasila Sakti. Nama ini muncul sebelum NU menerima asas tunggal Pancasila.
Gus Dur memang salah satu kiai yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Mbah Liem.
Dalam salah satu edisi lama Majalah Tempo, ketika membahas kiai-kiai khas yang ada di belakang Gus Dur, mantan ketum PBNU ini menggambarkan kedekatannya dengan Mbah Liem kurang lebih seperti ini,
“Mbah Lim itu ucapan-ucapannya sulit dipahami, sehingga membutuhkan penerjemah untuk menjelaskan maksudnya. Namun ada tiga momen saat ucapan-ucapan Mbah Liem sangat jelas sekali. Pertama ketika salat, kedua ketika membaca Al-Qur’an, dan ketiga ketika bicara dengan saya.”
Mbah Liem adalah kiai yang dekat dengan semua kalangan, mulai rakyat jelata hingga pejabat tinggi negara.
Beliau memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Presiden Soeharto beserta semua keluarganya, mengenal baik hampir semua jendral TNI maupun polisi, dan pejabat-pejabat tinggi lainnya.
Hal itu, terutama di masa Orde Baru, sepertinya, tidak lain adalah sebagai usaha beliau untuk mencairkan kebekuan hubungan antara NU dan Gus Dur di satu pihak, dengan pemerintahan Orde Baru di pihak yang lain.
Mbah Liem berupaya membuat kanal-kanal penghubung baru, agar umat Islam, terutama NU, tidak semakin direpresi oleh rezim.
Mbah Liem adalah pribadi yang konsisten sampai akhir hayatnya dalam mencintai Islam, NKRI, Pancasila, dan kemanusiaan.
Beliaulah pencetus slogan;
"NKRI Harga Mati"
Di pesantrennya, slogan NKRI Pancasila Aman Makmur Damai (NKRIP AMD) menggema berkali-kali tiap harinya.
Sebuah joglo tempat pertemuan di komplek pesantrennya beliau namai dengan Joglo Perdamaian Umat Manusia se-Dunia (JPUMD).
Dan sehari lima kali, tiap menjelang shalat maktubah, muadzin di Masjid Al-Muttaqien selalu mendaras doa untuk kebaikan NKRI Pancasila.
Mbah Liem wafat pada tanggal 24 Mei 2012, di usia sekitar 91 tahun, dengan prosesi pemakaman sebagaimana yang ia wasiatkan sebelumnya.
Prosesinya yaitu jenazah beliau dibawa dari ndalem ke masjid lalu ke makam dengan diiringi bacaan shalawat Nabi lengkap dengan rebana, serta dimakamkan secara militer di JPUMD.
Dari sembilan putra-putrinya, empat putra dan empat putrinya saat ini yang meneruskan dakwah dan perjuangannya.
Semoga NKRI Pancasila senantiasa Aman, Makmur, Damai sepanjang masa.
Untuk para pejuang tanah air, para Syuhada', Lahumul Fatihah.
Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar
Posting Komentar